Kamis, 10 Juli 2008

Pola Wana Tani (Agroforestry), Alternatip Pengembangan Pertanian Lestari di Dataran Tinggi.

Lahan kering dataran tinggi (up land) merupakan lahan marginal yang belum banyak mendapat perhatian pemerintah, karena selama ini kebijakan pembangunan pertanian khususnya pangan lebih diutamakan penangannya pada lahan basah persawahan.
Isu swasembada pangan, khususnya penyediaan beras yang telah berhasil mengantar Bangsa Indonesia dari pengimpor beras menjadi pengekspor beras cukup memberi ‘nilai tambah’ didunia internasional.

Namun kita semua menyadari, pertumbuhan, perkembangan jumlah dan kepadatan penduduk memberikan ‘pekerjaan rumah’ yang tidak mudah bagi pemerintahan Orde Baru untuk terus selalu menyediakan bahan pangan dalam jumlah yang cukup dan aman, dengan harga jual yang tetap terjangkau masyarakat sehingga stabilitas dapat tetap terjaga. Ketergantungan konsumsi pangan masyarakat pada beras sangat membahayakan bagi kita semua, karena itu gerakan penganekaragaman dalam mengkonsumsi pangan, khususnya karbohidrat harus terus dilaksanakan pada semua aras masyarakat. Maka kekhususan suatu daerah dalam mengkonsumsi pangan harus dijaga dan dilestarikan seperti misal beberapa daerah yang mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok. Dengan demikian masyarakat tidak terjebak dalam persepsi yang menyatakan bahwa mengkonsumsi ‘nasi’ lebih bergengsi dibanding lainnya.

Pemenuhan pangan

Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan (tidak hanya ‘beras’) maka kita perlu menengok potensi lahan yang masih dibiarkan belum tergarap secara maksimal atau belum tersentuh kebijakan pemerintah.

Lahan marginal di dataran tinggi sebenarnya cukup mempunyai potensi jika ada kesungguhan dari pengambil kebijakan maupun petani pemilik lahan tersebut.
Ada beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan wanatani di lahan kering dataran tinggi antara lain :

1. Tingkat kesuburan tanah relatip rendah
2. Mudah tererosi
3. Ketersediaan air terbatas
4. Solum/jeluk tanah relatip tipis
5. Infrastruktur belum memadai
6. Keterbatasan pengetahuan teknis petani mengenai wanatani
7. Keterpaduan/ koordinasi antar instansi terkait masih belum berjalan dengan baik sehingga sering membingungkan petani yang menerapkan wanatani
8. Status lahan mengenai kepemilikan belum jelas.
9. Pemasaran hasil yang belum terjamin dan lain-lain.

Meskipun ada beberapa kendala, namun perhatian terhadap pemanfaatn lahan kering dataran tinggi yang merupakan lahan marginal perlu terus digalakkan karena cakupan wilayahnya relatip cukup luas.

Dalam rangka menindaklanjuti pemanfaatan lahan tersebut, pilihan pola wanatani (Agroforestry) sebagai alternatip pengembangan pertanian lestari di lahan kering dataran tinggi perlu mendapat perhatian, serta kesungguhan untuk dicoba penerapannya dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan kesejahteraan keluarganya.

Pola wana tani (Agroforestry)

Dalam Lokakarya Wana tani I di Bogor telah disepakati kata Wana tani sebagai padanan kata Agroforestry. Hal ini diperkuat lagi dalam Lokakarya Wana tani II di Ujung Pandang pada 16 – 18 Januari 1995.

Menurut Vagara, Wana tani didefinisikan sebagai :

Agroforestry adalah semua pola tata guna lahan yang berkesinambungan atau lestari, yang dapat mempertahankan dan meningkatkan hasil optimal panen keseluruhan dengan mengkombinasikan tanaman pangan, tahunan, dan tanaman pohon bernilai ekonomi, dengan atau tanpa ternak atau ikan piaraan, pada lahan dan waktu yang bersamaan atau waktu yang bergiliran dengan metoda pengelolaan yang praktis, yang sesuai dengan keadaan sosial dan budaya penduduk setempat, serta keadaan ekonomi dan ekologi daerah tersebut (dalam makalah ‘Pengembangan Sistem-sistem Wana tani di Kawasan Timur Indonesia, Dr. Sudarsono Riswan, 1995).

Dari pengertian Wana tani, menurut Dr. A. Ngaloken Ginting, pola Wana tani dapat dibagi menjadi :

1. Agrosilvopasture ; bentuk pemanfaatan lahan dengan mengkombinasikan tanaman pertanian, tanaman hutan/tahunan dan tanaman makanan ternak yang dikaitkan dengan pemeliharaan ternak.
2. Silvopasture; suatu bentuk pemanfaatan lahann dengan mengkombinasikan tanaman hutan dan peternakan.
3. Agrosilvofishery; suatu bentuk pemanfaatan lahan dengan mengkombinasikan tanaman pangan, tanaman hutan/tahunan dan perikanan.
4. Silvofishery atau hutan tambak; suatu bentuk pemanfaatn lahan dengn mengkombinasikan tanaman hutan dan perikanan.
Suatu contoh yang sudha banyak dilakukan di Indonesia adalah hutan tambak didaerah mangrove.
5. Pekarangan (Home garden); suatu sistem wana tani tradisional yang merupakan perpaduan yang harmonis antara tanaman tahunan dan tanaman pangan disekitar rumah masyarakat pedesaan pada umumnya.
6. Kebun campuran (mixed garden) ; suatu lahan yang ditanamani tanaman tahunan dan tanaman pangan. Setelah beberapa tahun kemudian, hanya sebagian kecil lahan yang dapat ditanami tanaman pangan karena pengaruh naungan tanaman tahunan.
7. Talun (mixed tree garden); suatu sistem wana tani tradisional dimana lahan sudah diberakan untuk beberapa tahun dan tanaman tahunan sudah dominan dll.


Penerapan wana tani

Sebenarnya pola Wana tani sudah banyak diterapkan dalam pengelolaan lahan kering di masyarakat,
Sebagai contoh di Kalimantan Barat disebut Tembawang, Lembo di Kalimantan Timur dan damar mata kucing di Lampung Barat.
Bahkan oleh Ir. A.P.Y Djogo dalam makalah berjudul ‘Sistem-sistem Wana tani Di Dataran tinggi/Lahan Kering’ membuat tabel Wana tani dari berbagai daerah sebagai berikut ;

Tabel . beberapa Model Wana tani Dari berbagai Daerah

No Model lama Daerah Konsep wana tani
1 Ladang berpindah Semua daerah Agrisilviculture
2 Sistem pemberaan dengan pohon dan semak Semua daerah Agrosilvopastoral
3 Tumpang sari Semua daerah Agrosilviculture
4 Pekarangan Semua daerah Agrosilviculture
5 Kopi dan Tephrosia candida Sulawesi Selatan, Flores Agrosilviculture
6 Eksploatasi tanaman hutan Kalimantan, Sumatera, Sulawesi Agrosilviculture
7 Bi-ubian dibawah pohon Sagu Irian Agrosilviculture
8 Hutan di atas daerah persawahan Sulawesi Agrosilviculture
9 Kebun campuran Hampir semua daerah Agrosilviculture
10 Turi di pematang sawah Bali, NTB, NTT Agrosilviculture
11 Kebun Talun Jawa Barat Agrosilviculture
12 Mamar Timor, Rote, Sabu Agrosilviculture
13 Kebun buah-buahan Bali, Jatim Agrosilviculture
14 Kebun kopi dengan dadap Semua daerah Agrosilviculture
15 Kebun kopi dengan Albizia (Paraserianthes) sebagai pohon pelindung Semua daerah Agrosilviculture
16 Integrasi kayu bangunan dalam kebun Semua daerah Agrosilviculture
17 Ongeng, Kopo Flores Agrosilviculture
18 Vanili dengan gamal Flores dan banyak daerah lain di Indonesia Agrosilviculture
19 Larikan lamtoro Flores, Timor, Sumba Agrosilviculture
20 Hutan lamtoro utnuk pakan Timor Silvopastoral
21 Larikan tanaman leguminosa lain Flores, Timor Agrosilviculture
22 Sistem tiga tingkat Bali Silvopastoral
23 Hutan keluarga Flores, Timor Agrosilviculture
24 Cemara dan Tanaman Pangan Timor Agrosilviculture
25 Pengelolaan hutan dengan tanaman pertanian NTB,Kalimantan, Irian Agrosilviculture
Maka dalam tangka pengembangan pertanian lestari di lahan kering dataran tinggi yang cenderung berlereng/ miring, penerapan pola Wana tani dapat dijadikan alternatip bagi para kelompok tani lestari di lahan marginal .

Yang perlu diperhatikan dalam penerapan wana tani antara lain :

- Kemampuan petani akan pemahaman pola wana tani
- Kemmapuan teknis dalam pemilihan tanam,an yang akan dipadukan sehingga saling menguntungkan.
- Harus mendasarkan pada prinsip pengawetan tanah dan air.
- Memperhatikan faktor sosial budaya ekonomi (menyangkut pemasaran hasil).
- Mempertimbangkan ekosistem setempat serta potensi lokal yang ada (vegetasi, tanah, iklim dll)
- Mudah diterapkan dnegan biaya murah

Dengan semakin disadari arti strategis pemanfaatan lahan marginal dengan pendekatan pengembangan pola Wana tani, diharapkan mampu menyediakan kebutuhan pangan meski dibarengi prtambahan jumlah penduduk.
Dan yang lebih penting pemanfaatan lahan marginal dapat optimal, tetap terjaga kesuburan lahannya serta berwawasan lingkungan dan lestari. Semoga !


YBT Suryo Kusumo
Pendamping petani di Tim-tim

Tidak ada komentar: