Rabu, 05 November 2008

Sulit Air Krisis yang Tak Dianggap

Minggu, 20 Juli 2008
Satu-persatu orang mulai merasakan krisis air. Namun krisis itu tetap saja masih tak dianggap. Padahal kini air sudah mulai diperjual belikan. Harganya memang masih rendah, namun ke depan kemungkinan juga akan melambung seperti halnya minyak. Jika waktu itu tiba, maka dampaknya lebih mengerikan dari krisis minyak dan gas. Tak ada jalan lain, krisis air harus ditanggapi secara serius dari sekarang.
Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andi-noviriyanti@riaupos.co.id Alamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya

Hari itu, awal pekan, minggu kedua Juli. Johanes Sinaga (48) berkeluh kesah kepada Riau Pos. Gara-gara air sumur bor yang ada di rumahnya keluar bak air kencing. “Air yang keluar itu seperti air kencing saja. Angin saja yang banyak,” ungkap pria yang sudah enam tahun ini bertempat tinggal di Jalan Kereta Api, Kelurahan Tangkerang Tengah, Kecamatan Marpoyan Damai.“Sudah dua pekan ini kami susah air. Istriku sudah mengeluh saja. Terpaksa berhemat-hemat air. Baru sekali ini pula, seperti itu. Padahal sebelumnya tidak pernah. Sekali pun kemarau panjang,” ungkap ayah lima anak ini melanjutkan ceritanya. Dia ingat, dulu ketika tidak hujan selama empat bulan berturut-turut, air sumur bornya tetap saja lancar. Bahkan ketika jalan di depan rumahnya sudah berdebu-debu, dia masih punya banyak air untuk menyiram jalan tersebut. Dia mengaku benar-benar tidak habis pikir mengapa sumur bornya tidak lagi lancar mengeluarkan air. “Tak mungkin pompa saya yang rusak. Tetangga-tetangga saya juga kekeringan saat ini,” lanjutnya menjawab pertanyaan Riau Pos yang menduga bahwa pompa Johanes-lah yang rusak. Johanes juga mengelak dugaan bahwa sumur bornya mungkin terlalu dangkal. Dia menyebutkan kedalaman sumur bornya sudah 24 meter. Saat dugaan itu juga ditolak, dugaan dilanjutkan penyebab kekeringan itu adalah tidak adanya daerah hijau atau pepohonan di sekitarnya. Akibatnya air hujan yang ada hanya menjadi air aliran permukaan dan tidak singgah di dalam tanah. Dugaan tidak ada pohon sebagai penyebabnya tidak dibantah Johanes. Menurutnya hal itu bisa terjadi mengingat daerah di sekitarnya kini merupakan kawasan padat penduduk. Kondisi itu diperparah lagi dengan alih fungsi kawasan di tempatnya yang dulu rawa kini menjadi kawasan perumahan. “Bisa jadi juga penyebabnya karena ada kanalisasi di kawasan perumahan saya. Jadi air yang dulu banyak berkumpul di rawa mengalir semua ke kanal dan kawasan menjadi kering,” tambah Johanes memperkirakan kemungkinan lain penyebab kekeringan di rumahnya. Melyati (32), seorang warga di Jalan Kereta Api lainnya yang ditanyai Riau Pos juga mengemukakan dugaan yang sama terhadap penyebab kekeringan di kawasannya. Walaupun setakat ini dia belum merasakan krisis air seperti yang dihadapi Johanes.“Dulu kawasan ini sering banjir, tetapi sejak ada kanal jadi tidak banjir lagi. Tetapi konsekwensinya air menjadi sulit,” urainya.Melyati juga mengakui kalau dulu di kiri kanannya banyak kebun penduduk. Tetapi kini sudah menjadi areal perumahan. Hanya beberapa areal saja, tambahnya, yang saat ini belum dibangun.Satu-persatu orang mulai diperkenalkan dengan krisis air. Johanes dan keluarganya yang dulu tidak mengenal krisis air, kini mulai merasakan. Meskipun baru dua minggu dan masih bisa menampung air yang mengalir kecil itu. Namun ke depan bila tidak ada upaya bersama untuk melestarikan air tanah di sekitarnya, bisa jadi Johanes dan masyarakat lainnya akan benar-benar krisis air.***Indonesia termasuk satu dari sepuluh negara kaya air. Itu sebabnya persoalan krisis air belum begitu berkecamuk. Apalagi di Riau yang kaya dengan sumber air bersih kini masih berstatus surplus air. Akibatnya upaya konservasi dan pelestarian air masih tidak dianggap penting. Air masih dianggap komoditi murah yang tidak berarti. Padahal tanpa terasa saat ini, komoditi yang kini dikenal dengan nama emas biru itu sudah mulai punya harga. Bahkan di Rumbio, Kabupaten Kampar, daerah yang kaya dengan air karena dibelah oleh Sungai Kampar, kini telah mengenal jual beli air. Harganya kini satu jiregen ukuran 35 liter memang masih Rp3500. Namun ke depan, ketika air sudah semakin seret harga komoditas itu juga akan meloncat tajam. Sama halnya seperti saat, harga minyak melambung lebih dari dua ratus kali lipat dalam kurun waktu satu tahun ini. Harga air ke depan diperkirakan juga akan melambung. Mengingat Jacques Diouf, Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pernah mengungkapkan saat ini penggunaan air di dunia naik dua kali lipat lebih dibandingkan dengan seabad silam, namun ketersediaannya justru menurun. Penyebabnya tidak saja karena bertambahnya populasi manusia, tetapi juga karena kerusakan lingkungan. Mulai dari intrusi air laut yang mengkontaminasi air tanah sehingga menjadi asin. Pembuangan sampah dan limbah ke badan sungai sehingga air sungai tercemar dan tidak layak digunakan jadi sumber air bersih. Pembabatan hutan dan penebangan pohon yang mengakibatkan air hujan tidak tersimpan dalam tanah tetapi langsung ke sungai dan menuju laut lepas. Di tambah lagi seminisasi besar-besaran akibat pembangunan yang tidak memberikan kesempatan bagi air merembes ke dalam tanah. Semua penyebab krisis air tersebut harus diantisipasi. Deputi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bidang Hayati Endang Sukara, Kepala Balai Wilayah Sungai Sumatera III Agung Anggoro, Subdin Sungai, Rawa, Pantai dan Danau Kimpraswil Riau Dadi Komardi memaparkan sejumlah abtisipasi itu. Antipasi dilakukan melalui upaya optimasi pasokan, optimasi penyimpanan dan optimasi penyaluran serta penggunaan. Optimasi pasokan dan menyimpan air berarti peningkatan jumlah air hujan yang masuk ke dalam tanah dan tersimpan. Baik tersimpan di dalam tanah, maupun di sungai dan juga di tempat-tempat air permukaan, seperti danau dan bendungan buatan. Itu ditempuh dengan cara memanenan air hujan sebanyak mungkin. Baik melalui pembuatan kanal-kanal, meningkatkan daerah hijau, dan mengurangi areal yang disemenisasi serta penanaman pohon. Mengingat setiap satu batang pohon mengandung 80 persen air. Terakhir dengan mengoptimasi penyaluran dan penggunaan. Artinya setiap air yang ada harus tepat sasaran dan harus dihemat penggunaannya, karena secara alami komoditas itu meningkat permintaannya seiring bertambahnya penduduk bumi.***

http://www.riaupos.com/v2/content/view/8379/91/

Warga Sapala Mengonsumsi Air Kubangan Kerbau (2-Habis)

Tak Ingin dokter Kabur LagiTERPAKSA itulah yang membuat Desa Sapala, Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), hingga menggunakan air sungai yang tercemar kubangan kerbau untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi, cuci dan diminum.Semula mereka menganggap, air itu tak berpengaruh pada kesehatan. Namun, mereka baru sadar bahwa air itu tak layak digunakan, setelah seringnya terjadi keluhan sakit perut, diare dan gatal-gatal.Kesadaran itu juga datang dari sejumlah anak-anak, yang sekolah di SMPN 3 Sapala. "Di sekolah mereka belajar tentang kesehatan, sehingga selain pemuda dan tokoh masyarakat, anak-anak juga mengusulkan agar di desa ini dibangun sarana air bersih," kata kades Sapala, Sahni.Sahni yakin, jika ada sarana air bersih di desanya, orang luar yang bertugas --seperti dokter, tentu tak kabur lagi dari Sapala. Upaya membangun sarana air bersih ini, sudah mereka sampaikan kepada Pemkab HSU.Pemkab sendiri menanggapi positif. Oleh pemkab, timpal H Bahran, tokoh masyarakat setempat, mereka diminta membuat proposal permohonan bangunan pengadaan sarana air bersih. Namun, permintaan pemkab itu menjadi kendala bagi warga. Pasalnya, berkali-kali diajukan, selalu proposal itu diminta untuk diperbaiki."Kami kan tidak tahu bagaimana membuat proposal, jadi kemarin karena salah tulis sedikit langsung dikembalikan," keluh Bahran yang terpaksa bolak balik naik taksi air (kelotok) mengurus proposal yang diminta. Padahal, imbuh dia, kebutuhan akan air bersih itu sangat mendesak, mengingat ada 1.536 jiwa penduduk mendambakannya.Jika sarana ini berhasil dibangun menurut Bahran, tak hanya mengatasi kesulitan air bersih di desa Sapala, tapi juga bisa melayani desa perairan lainnya seperti Palbatu, Bararawa, Tampakang, Ambahai dan Paminggir yang kondisinya sama dengan desa Sapala.Sebagai bukti keseriusan warga memperjuangkan sarana air bersih, mereka kini menyiapkan lahan. "Pemerataan pembangunan dari pemerintah HSU sangat kami harapkan, dan kami akan perjuangkan sampai berhasil," imbuh Bahran dibenarkan kades dan warga lainnya.Sementara, Bupati HSU Drs H Fakruddin Msi baru-baru ini berjanji membantu warga Sapala. "Kami akan bangunkan sarana air bersih sistem penyaringan dengan pasir, dan insya Allah dibangun 2005," janji bupati.Bupati juga telah meminta PDAM menyuplai air ke Dermaga Danau Panggang untuk disalurkan melalui perahu-perahu air. Namun, hingga Senin (4/10) ketika BPost berkunjung ke lokasi, warga mengaku belum mendapatkan suplai air bersih itu.Benarkah meminum air terkontaminasi berbagai zat ini tak masalah? "Dari segi kesehatan jelas tidak baik. Selain diare, muntaber, dan penyakit kulit. Lainnya, penyakit dari hewan juga bisa menular lewat konsumsi air," kata dr Dharma Putera Mkm, kepala dinas kesehatan setempat belum lama tadi.Kemungkinan lain, terang dr Dharma, jika ada salah seorang penduduk menderita penyakit hepatitis, maka akan menularkan kepada orang lain lewat kotoran yang ia buang di sungai yang tercemat itu. "Kemungkinan warga lainnya yang mengonsumsi tertular hepatitis B lewat air tadi," imbuhnya. hanani

Kelangkaan Air Bersih Landa 947 Desa

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pemerintah mencatat kelangkaan air bersih telah melanda 947 desa. Jumlah ini meningkat dari pertengahan Juli lalu yang tercatat 910 desa.Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menuturkan pemerintah telah mengirimkan bantuan bagi pemerintah daerah yang sudah kewalahan dengan kelangkaan ini. "Indramayu, Cirebon, dan Boyolali sudah dikirimkan bantuan dari pusat," kata dia dalam konferensi pers "Kekeringan Air" di kantornya, Senin (11/8).Bantuan itu berupa pinajaman truk tangki air dan terminal air yang disesuaikan dengan permintaan pemerintah daerah. Menurut catatan pemerintah, selain ketiga daerah itu bantuan juga sudah dikirimkan ke Bogor, Blora, Sragen, dan Magelang.Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum Budi Yuwono mengatakan kelangkaan air bersih ini disebabkan musim kemarau yang tengah melanda Indonesia. Meski menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) kemarau berlangsung hingga Oktober, Budi berpendapat laju penambahan desa yang mengalami kelangkaan air bersih tak akan besar."Dalam satu bulan saja hanya (bertambah) sekitar 3 persen. Laju ini cukup landai," kata dia kepada Tempo usai konferensi pers. Menurut dia, laju penambahan itu tak terlalu berat dan dia memperkirakan laju tak bertambah terlalu besar karena hujan umumnya jatuh di bulan Oktober.Berdasarkan data pemerintah, kelangkaan air banyak terjadi di Jawa Tengah sebanyak 353 desa. Jumlah itu disusul Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat sebanyak 121 desa dan 101 desa. Sedangkan di Maluku hanya satu desa yang mengalami kelangkaan air.Rieka Rahadiana
http://www.tempointeraktif.com/read.php?NyJ=cmVhZA==&MnYj=MTMwNDQ5