Selasa, 15 Juli 2008

Menangkal krisis air di Kota Kupang, bisakah ?

Menarik apa yang diberitakan dalam Pos Kupang tertanggal 30 September 2004 mengenai hampir mengeringnya salah satu mata air yang menjadi salah satu pemasok air untuk PDAM Kupang di Oepura yang berdampak pada terganggunya kelancaran layanan distribusi air pada para pelanggan. Berita tersebut membuat kita sebagai warga koat Kupang merasa malu hati dan berintrospeksi untuk berbenah diri dan melihat arti strategis sebuah hutan yang berada dibagian hulu Kota Kupang yang berpengaruh dalam menjaga ketersediaan air bagi kelangsungan hidup seluruh warga yang mendiami Kupang. Sedang untuk Dinas Kehutanan di Kupang, berita tersebut seharusnya dijadikan PR (pekerjaan untuk rakyat) untuk tetap selalu menjaga keberadaan hutan berserta fungsinya dan menjadi fokus dan prioritas dalam penanganannya. Dinas Kehutanan bekerja sama dengan PDAM Kab Kupang maupun UPTD Air Bersih Kota Kupang sudah seharusnya mengkaji kembali kenapa banyak mata air yang tadinya tetap mengalir di musim kemarau, namun saat ini sudah mengering. Mungkin penyebabnya karena adanya penggundulan hutan maupun kurang terpeliharanya hutan yang berada dibagian hulu kota Kupang yang menjadi daerah tangkapan hujan (catchment area) karena kurang sadar dan kurang dilibatkannya masyarakat hulu dalam pengelolaan hutan.

Mata air berubah jadi air mata

Keberadaan kawasan hutan di bagian hulu Kota Kupang menjadi strategis, ketika kita membicarakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat. Otonomi daerah akan berhasil apabila mengandaikan pemkab maupun pemkot dan masyarakat mau dan mampu mengelola SDA, dan SDM yang ada mampu memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi , birokrasi yang profesional bebas KKN, adanya akuntabilitas kinerja pemkab maupun pemkot dan kontrol maupun akses dimiliki oleh rakyat terhadap eksekutip, legislatip dan yudikatip. Maka profesionalitas dinas kehutanan dan seluruh potensi yang ada di masyarakat (intelektual, agamawan, LSM, swasta dll) sangat diharapkan dalam mengelola hutan yang ada serta menumbuhkan kembali hutan yang terlanjur menjadi padang alang-alang/ sabana. Keberlanjutan dalam ketersediaan air maupun dalam mendapatkan/mengakses air untuk kebutuhan hidup yang layak, baik untuk minum maupun kebutuhan domestik bagi warga kota harus menjadi fokus layanan publik bagi Pemkab maupun Pemkot Kupang mengingat sampai saat ini layanan yang diberikan terkait dengan ketersediaan air masih jauh dari harapan warga kota.
Juga perlu diantisipasi sejak awal ketika kemungkinan terjadi pertambahan warga Kota Kupang secara cepat dan berlipat yang akan berdampak pada kecukupan penyediaan air bersih.

Salah satu fungsi yang sangat penting dari sebuah keberadaan kawasan hutan adalah kemampuannya menjaga daur hidrologis sehingga dapat membantu ketersediaan air di musim kemarau melalui mata air yang muncul akibat tersimpannya air oleh keberadaan kawasan hutan beserta tegakan pohon, maupun kemampuannya menghindarkan terjadinya banjir ketika musim hujan berlangsung. Air yang merupakan sumber kehidupan bagi mahluk hidup termasuk didalamnya masyarakat kota, keberadaan dan ketersediaannya tidak dapat tergantikan dan mutlak harus terpenuhi. Bahkan syarat mutlak tingkat kualitas kehidupan masyarakat salah satunya adalah ketersediaan air yang memenuhi kualitas layak minum dalam jumlah yang cukup tersedia. Tingkat kesehatan masyarakatpun sangat tergantung dari ketersediaan air yang cukup baik jumlah maupun kualitasnya untuk keperluan mandi, masak, minum, mencuci dan WC, bahkan untuk ternak yang kita pelihara. Sebaik dan semewah apapun sarana dalam rumah kita, apabila tanpa ketersediaan air yang cukup maka akan mengurangi kenikmatan kita sebagai penghuni.
Demikian pula dalam kaitannya dengan keindahan, kebersihan dan kenyamanan kota, sangat terkait dengan ketersediaan air. Taman kota yang hijau perlu dipelihara melalui penyiraman yang rutin ynag membutuhkan pasokan air yang cukup dan kontinyu, suasana hawa kota yang panas dapat dikurangi dengan adanya air mancur di tengah kota, kolam-kolam yang ditumbuhi bunga teratai dan ikan hias dapat memberi nuansa nyaman dst. Kendaraan roda empat maupun roda dua akan kelihatam bersih kalau dicuci secara rutin dan hal ini membutuhkan ketersediaan air yang cukup.

Maka keberadaan hutan dalam menyangga sebuah kawasan pemukiman sebagai penyedia air sungguh perlu diperhatikan. Jangan sampai kelengahan kita melestarikan hutan menjadi malapetaka yang menyebabkan mata air berubah menjadi air mata yang mengalir, karena susahnya memperoleh kebutuhan dasar berupa air dan kita cenderung melihat itu semua sebagai bencana yang berasal dari ‘Sang Pencipta’.

Senin, 14 Juli 2008

Pengembangan energi alternatip di NTT dalam kerangka memperlambat pemanasan global dan perubahan iklim, perlukah ?

Meski media terus menggaungkan masalah climate change atau perubahan iklim, namun hanya sedikit Pemda yang tertarik dengan isu ini. Mungkin karena dampak yang ditimbulkan tidak menyebabkan kerusakan besar, seketika dan dasyat seperti tsunami atau gempa bumi. Selain itu proses terjadinya perubahan iklim terjadi dalam kurun waktu yang panjang, sehingga persoalan perubahan iklim masih dianggap bukan persoalan yang mendesak/urgent yang membutuhkan tindakan segera.

Hal ini diperparah dengan kebiasaan pejabat dan masyarakat kita yang lebih cenderung reaktif daripada proaktif. Maka lengkaplah sudah penderitaan rakyat kecil, lemah dan miskin yang sementara ini didera dengan kenaikan harga sembako akibat BBM naik dua kali dalam pemerintahan SBY-Kalla, ditambah kecenderungan terjadinya kolusi dan nepotisme antara pengusaha dan penguasa yang cenderung mengarah ke bentuk negara kleptorasi yang penuh pencuri baik yang kasat mata maupun yang berdasi dan kelas tinggi (KKN).

Akibatnya rakyat kecil, lemah dan miskin meskipun telah terkendala dalam hal modal, teknologi dan informasi.harus siap-siap secara sendirian menghadapi perubahan iklim yang akan berdampak pada kehidupannya di banyak sektor baik pangan, kesehatan, ekonomi dll
Mitigasi dan Adaptasi
Dalam sebuah artikel berjudul Sektor Pertanian dan Perikanan Paling Rasakan Dampak Perubahan Iklim yang diakses dalam situs Jakarta’s Enviromment Parliament Wacth http://www.epwjakarta.org/index.php?option=com_content&task=view&id=6&Itemid=1Disampaikan bahwa sektor pertanian dan perikanan merupakan sektor yang paling merasakan dampak perubahan iklim. Hal tersebut diungkapkan Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Dra Mesnellyarti Hilman MSc saat tampil sebagai pembicara sosialisasi perubahan iklim
Meski dampak perubahan iklim sudah mulai terasa, namun bukan berarti tak ada jalan lain, tapi setiap individu atau masyarakat bisa mengambil peran dalam meminisir dampak dari perubahan iklim melalui upaya adaptasi dan mitigasi.
Dijelaskan, adaptasi dilakukan penyusuaian dengan melakukan upaya-upaya untuk mengurangi resiko dampak perubahan iklim melalui perubahan pola pembangunan,”Di Negara seperti Pakistan sudah dilakukan antisipasi didaerah di pesisir dengan cara membangun pemecah gelombang air laut. Demikian juga di Cina, tanaman mangrove dijadikan sebagai penahan gelombang tzunami. Ini sudah terbukti saat terjadi tzunami di di Aceh,”ungkapnya.
Posisi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa dan merupakan negara kepulauan menjadikan Indonesia sangat rawan terhadap efek perubahan iklim.”Kita sangat rentan terhadap perubahan iklim. Masalah yang dihadapi adalah peralatan perkiraan cuaca masih minim di Indonesia,”paparnya.
Secara sederhana adaptasi lingkungan dilakukan dengan membiasakan diri menaman pohon dan hindari menebang pohon terutama di daerah berbukit agar tidak terjadi tanah longsor dan diharapkan keberadaan pohon tersebut bisa menyerap polusi udara, budayakan hidup bersih dengan cara membuang sampah pada tempat yang telah disediakan.
Selain itu, upayakan membuat sumur resapan atau bak untuk menampung air hujan, serta menghindari daerah pemukiman di lereng bukit. Bagi pelaut, petani dan yang akan melakukan perjalanan jarak jauh, carilah informasi ramalan cuaca dan musim sebelum beraktifitas.
Sedangkan kegiatan mitigasi dilakukan sebagai salah satu upaya menurunkan efek gas rumah kaca sehingga dapat memperlambat laju pemanasan global. Yang bisa dilakukan untuk meredam laju kenaikan suhu bumi yaitu melalui pengembangan etika hemat energi dan ramah lingkungan. (cetak miring dan tebal oleh penulis)
Tidak konsumtif, mengurangi dan mengelola sampah, pengelolaan hutan secara berkelanjutan, menekan terjadinya kerusakan dan kebakaran hutan. Di sektor transportasi dilakukan dengan cara efisiensi penggunaan transportasi misalnya pemakaian kendaraan bermotor yang boros bahan bakar hendaknya semakin dikurangi yang juga dibarengi dengan upaya perancangan peraturan secara ketat untuk mengurangi pencemaran udara dalam berbagai bentuk..
Upaya lainnya adalah penghematan pemakaian listrik konsumsi rumah tangga perlu terus diupayakan terutama bila pembangkit listriknya mempergunakan bahan bakar diesel/batu bara.
Saat belanja, pilih produk dengan kemasan minimal untuk mengurangi sampah, dan bawahlah tas belanja sendiri agar meminimalkan penggunaan kantong plastik. Sebagai konsumen, kita harus kritis melakukan penolakan untuk mepergunakan barang konsumsi dan peralatan yang masih mempergunakan Kloroflourkarbon (CFC) dalam produknya karena saat kita memakainya tak ubahnya kita menyediakan tali untuk menjerat leher kita sendiri dimasa mendatang karena CFC merusak lapisan ozon. CFC adalah sekelompok gas buatan yang diperkenalkan oleh General Motors, perusahaan mobil Amerika Serikat pada tahun 1930-an. Bahan CFC banyak dijumpai pada peralatan pendingin (Kulkas, AC) serta tabung penyemprot parfum.
Serta menggiatkan pelestarian hutan dan reboisasi, karena keberadaan hutan ternyata berfungsi luar biasa dalam menyerap gas CO2 sehingga dapat memperlambat penimbunan gas-gas rumah kaca. Dalam kesempatan tersebut, Nelly mengharapkan agar organisasi profesi dan LSM yang hadir dalam pertemuan bisa mengambil peran dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim.”Guru sangat berpotensi untuk merubah budaya, perilaku, dan kebisaan murid. KLH mengembangkan pelatihan untuk guru-guru juga masih punya bahan-bahan berupa dongeng-dongeng khas, demikian juga profesi lainnya bisa mengambil peran sesuai potensi masing-masing dalam kampanye perubahan iklim,”harapnya.
Kepekaan pembuat kebijakan publik

Tidak semua hal harus dan bisa dilakukan secara bersamaan karena terbatasnya SDA dan SDM, sehingga dibutuhkan prioritas dalam pembangunan NTT, demikian yang sering disampaikan dalam setiap pernyataan pejabat ketika berhadapan dengan permintaan rakyat miskin dalam kunjungan turbanya ke daerah..

Dalam momentum terpilihnya pemimpin baru NTT, diharapkan suara rakyat yang menjerit meski lirih harus dan terus mendapat perhatian.

Salah satu bidang yang perlu ditangani secara serius di NTT adalah tersedianya energi yang murah namun ramah lingkungan bagi rakyat miskin.

Kita semua tahu konsumsi energi rakyat miskin memang masih relatip paling rendah namun sangat berpotensi merusak lingkungan seperti penggunaan kayu bakar dari hasil menebang pohon untuk konsumsi dapur rumah tangganya dan minyak tanah untuk penerangan.Disamping itu jumlah rakyat miskin di NTT cukup besar mengakibatkan potensi sumbangan perilaku rakyat miskin terhadap pemanasan global dan perubahan iklim tidak dapat diabaikan begitu saja.

Menjadi kewajiban Pemda (Tk I, Pemkab dan Pemkot) untuk memikirkan penyediaan energi alternatip yang murah namun ramah lingkungan sehingga mampu menyumbang terhadap pengurangan dampak pemanasan global dan perubahan iklim.

Disini kepekaan pejabat publik baik eksekutip maupun legislatip diuji, apakah pengalokasian dana APBD akan berpihak rakyat miskin atau sebaliknya lebih untuk membeli segala keperluan dirinya seperti mobil dinas, laptop, SPJ dll?

Kita dapat mengamati, betapa banyak potensi energi alternatip seperti biogas (dari kotoran ternak dan manusia), energi angin, energi surya, panas bumi dll di NTT.
Namun selama ini kita belum melihat kesungguhan Pemda untuk mengalokasikan sejumlah dana dalam APBD untuk penyediaan perangkat penerangan untuk rakyat mskin seperti PLTS (Pembangkit listrik Tenaga Surya), pemasangan kincir angin untuk sumber energi, teknologi pemanfaatan kotoran sapi untuk biogas (untuk memasak dan penerangan rumah ) dll.

Ketika Pemkot di Jawa mencanangkan konversi minyak tanah dengan gas elpiji dikalangan masyarakat untuk mengurangi subsidi BBM yang melambung, maka seharusnya Pemda NTT juga tidak ketinggalan mencanangkan pemanfaatan biogas dari kotoran sapi karena NTT terkenal dengan gudang ternak sapi.
Selain ramah lingkungan dan hemat, pemanfaatan kotoran sapi untuk biogas berdampak pada dikandangkannya ternak sapi sehingga tidak lagi menjadi hama yang memakan tanaman produksi dan dampak lanjutannya program pertanian dapat berjalan dan berhasil karena tanpa gangguan.

Manfaat tambahan lainnya kotoran sapi sisa dari proses produksi biogas dapat berfungsi menjadi pupuk organik yang selain dapat memperbaiki steruktur tanah, menambah kesuburan tanah, yang tak kalah penting untuk daerah semi arid seperti NTT adalah meningkatnya kemampuan mengikat air sehingga air dapat tersimpan dalam waktu yang cukup lama, menambah kelembaban tanah serta mampu menyimpan air lebih banyak. Kita semua tahu, salah satu masalah krusial dalam area semi arid adalah curah hujan yang banyak dalam kurun waktu singkat sehingga penambahan bahan organik dari pemanfaatan kotoran sapi akan sangat berarti dalam membantu memanen air.

Apalagi jika ada kesungguhan dari para pejabat publik untuk membantu pendanaan yang cukup dalam memanen air seperti pembuatan Bak PAH (Penampung Air Hujan), Embung, Chek dam, penegmbangan saluran irigasi dll.

Dengan pengembangan energi biogas baik untuk kompor dalam memenuhi konsumsi rumah tangga maupun untuk penerangan rakyat miskin, maka efek dominonya selain sapi dikandangkan adalah meningkatnya kesuburan lahan yang akan berakibat meningkatnya produksi pangan seperti jagung melalui teknologi sederhana “olah lubang” sehingga meningkatkan ketahanan pangan dari sisi ketersediaan produksinya.

Memang dibutuhkan dana bergulir untuk memberi kredit sapi pada rakyat miskin yang tidak mudah dilakukan karena pasti ada keraguan apakah akan kembali atau hilang begitu saja. Disini dibutuhkan kecerdasan dan keberanian dari para pejabat publik untuk tetap mempercayai rakyat miskin untuk keluar dari kemiskinannya namun sekaligus memberi pendampingan yang cukup intensip sehingga kesalahan seperti yang pernah terjadi di masa lalu tidak terulang kembali.

Masalah yang dihadapi rakyat miskin, selain kekurangan modal dan informasi adalah belum berubahnya mindset/pola pikir yang cenderung belum cerdas secara finansial, minimnya jiwa wirausaha , sikap hidup boros dan berjiwa kolot karena terbatasnya akses informasi. Perlu ada pendampingan yang mampu merubah mindset tersebut melalui berbagai startegi baru dalam proses pemberdayaan rakyat miskin. Untuk itulah kita semua para-pihak (stakeholder) baik dari kalangan intelektual, jurnalis , bisnis dan pejabat publik dll terpanggil untuk bersama rakyat miskin merubah keadaan melalui penyadaran dan kebersamaan dalam mencari solusi menuju sejahtera.

Selamat berkarya untuk semua pihak yang peduli pada kemajuan NTT, dan selamat untuk Nahkoda baru NTT dalam mewujudkan Visi, Misi dan janjinya pada saat kampanye.


YBT Suryo Kusumo

tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsaglobalindo.blogspot.com
www.adikarsagreennet.blogspot.com

Minggu, 13 Juli 2008

Global warming dan climate change, hantu disiang bolong atau prediksi ilmiah yang akan jadi kenyataan ?

Bagi kebanyakan masyarakat, global warming atau yang lebih dikenal dengan pemanasan global dan perubahan iklim mungkin hanya sekedar “breaking news” atau berita selintas yang kemudian dilupakan.

Mudah-mudahan hal ini tidak berlaku bagi para pemimpin NTT (pejabat , pemuka agama, budaya, akademisi, jurnalis, pengusaha, LSM dll) yang diharapkan masih terus punya komitmen untuk ikut berkontribusi terhadap berkurangnya pemanasan global maupun perubahan iklim.

Praksis (take action) dalam keseharian

Apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat terhadap pengurangan pemanasan global ? Mungkin ini pertanyaan yang sering diajukan kepada para pakar lingkungan, namun sebenarnya pertanyaan yang lebih penting adalah apakah masyarakat luas di NTT telah memahami apa yang dimaksud dengan pemanasan global maupun perubahan iklim dan dampak negatipnya bagi kelangsungan hidup kita di NTT ke depan ?

Anak saya yang masih duduk di SD tidak terlalu paham dengan istilah tersebut karena mungkin tidak terlalu dibahas didalam kelas atau mungkin tidak masuk dalam bahasan mata pelajaran yang tercantum dalam kurikulum, padahal seandainya kita semua mau mencermati akan dampak negatipnya yang sungguh luar biasa bagi kelangsungan peradaban manusia dibumi, maka pasti kita akan semakin peduli dan akan segera bertindak sesuai dengan kemampuan yang ada.

Orang bijak mengatakan “sedia payung sebelum hujan” meskipun masyarakat kita lebih suka sebaliknya yakni mencari tempat berteduh atau payung/jas hujan setelah hujan turun. Kebiasaan sikap re-aktip masyarakat kita tidak boleh dibiarkan begitu saja dan harus digantikan dengan sikap pro-aktip.

Menjadi pertanyaan, siapa yang harus mensosialisasikan terkait pemanasan global dan perubahan iklim ini kepada masyarakat luas di NTT ?

Musuh peradaban telah ada dimuka bumi yakni perilaku kita semua sebagai penghuni bumi yang terus saja membuang emisi berupa gas CO2 ke udara karena gaya hidup kita yang kurang peduli pada kelestarian bumi.

Dalam salah satu topik pembicaraaan Perpektif Wimar di websitenya Wimar Witoelar http://www.perspektif.net/indonesian/article.php?article_id=857), Dr. Armi Susandi ahli perubahan iklim dari Fakultas Kebumian dan Teknologi Mineral ITB mengatakan “Akibat dari pemanasan global bukan hanya dirasakan daerah pesisir , bahkan ada negara yang juga terancam bisa hilang seperti Tuvalu”.
Secara singkat Dr Armi menjelaskan bahwa dunia menjadi panas karena tertutup co2 yang disebabkan antara lain pembakaran bahan bakar fosil. “tahun 2035 kita ke bandara Soekarno Hatta harus naik perahu”, tuturnya. Energi alternatif mungkin bisa menjadi sebuah solusi tapi dengan konsekuensi akan membuat harga pangan melambung tinggi, seperti yang sekarang terjadi
Lebih lanjut beliau mengatakan fenomena ini ditandai beberapa hal seperti curah hujan yang tinggi ketika musim hujan, dan kemarau yang panjang setelahnya. Menurut Armi, jika terjadi perubahan cuaca maka penyakit akan muncul. Biasanya kita mengalami dua kali perubahan cuaca dalam satu tahun, sekarang bisa tiap hari terjadi perubahan cuaca yang berarti penyakit juga akan sering muncul. “Untuk itu peran pemerintah sebagai sumber informasi dan sosialisasi sangat penting”
Solusi yang ditawarkan adalah selain mencari energi alternatif, upaya penghijauan adalah solusi lain yang paling efektif. Karena disamping menyerap air, tumbuhan juga dapat menyerap co2. Indonesia tampaknya menjadi harapan dunia untuk masalah ini, selain memiliki hutan tropis yang besar, kita juga memiliki laut yang luas dimana tumbuhan laut didalamnya memiliki kemampuan menyerap co2 lebih besar dari tumbuhan di darat.
Dari gambaran dan penjelasan Dr. Armi Susandi diatas menjadi lebih jelas bagi kita masyarakat NTT apa saja yang dapat dilakukan untuk ikut mengurangi pemanasan bumi secara global.
Kebiasaan perladangan berpindah dn tebas bakar dalam membuka lahan di bumi Flobamora selain merusak lingkungan sekitar , secara tidak langsung juga turut andil dalam menambah emisi CO2 ke udara. Padahal sebenarnya pola pengelolaan lahan secara berpindah dan tebas bakar dapat digantikan dengan pola pertanian secara menetap tanpa harus membakar lahan dan teknologinyapun sangat sederhana dan mudah .
Apakah para Bupati dan Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan diwilayah Flobamora berani mendeklarasikan komitmen mereka untuk mampu menjadikan perubahan kebiasaan perladangan berpindah dan tebas bakar tersebut sebagai target kinerja dan menggantikannya dengan pola yang lebih lestari yakni pertanian berkelanjutan dengan konservasi lahan untuk lahan miring ? Pasti hal ini harus mendapat dukungan politik dari anggota DPRD setempat yang dituangkan dalam bentuk PERDA.
Para politisi DPRD Tk II dan Pemkab seharusnya tidak lagi berkutat hanya dengan permasalahan yang ada dirumah tangganya sendiri yakni dilingkup kabupaten, tetapi sebaiknya terus memperluas wawasan bahwa sebagai penghuni rumah yang sama yakni BUMI maka sudah selayaknya ikut memikirkan kontribusi apa yang dapat disumbangkan setiap Pemkab di bumi Flobamora ini secara nyata bagi pengurangan panas bumi secara global

Kita harus berpikir global, namun bertindak lokal, dan cara yang termudah pilihannya antara lain adalah;
0. Menyelamatkan dan melestarikan hutan yang masih bisa diselamatkan,
1. Melakukan penghutanan kembali hutan yang terlanjur rusak,
2. Memberantas pembalakan liar,
3. Mengajak warga masyarakat menghijaukan lingkungannya dengan menanam dan memelihara pohon-pohon yang sudah ada .
4. Mengajak seluruh perkantoran pemerintah untuk memberi contoh gerakan bersama peduli lingkungan hijau dan sejuk melaui penanaman pohon dikantornya maupun dirumah PNS,
5. Setiap dinas diserahi pengelolaan satu areal taman, seperti yang diterapkan di Kabupaten Probolinggo Jawa Timur, memperbanyak hutan kota di ibukota kabupaten maupun kecamatan,
6. Memasukkan muatan lokal (mulok) dalam pendidikan formal yang dimulai dari tingkat SD,
7. Mengomposkan sampah organik dan diajurkan untuk tidak membakarnya, mengurangi pemakaian kendaraan bermesin (motor, mobil) yang dirasa tidak terlau mendesak,
8. Mengatur transportasi publik seperti angkot/mikrolet , bus kota dan bus antar kota secara lebih efisien dan efektip.
9. Mengurangi pemakaian listrik
10. Merawat mesin dengan baik sehingga pembakaran sempurna dan hemat BBM
11. Dll

Kita sebenarnya bisa menghitung berapa pemborosan yang diakibatkan oleh banyaknya bus antar kota yang penumpangnya meski sangat sedikit namun harus terus berjalan , misalnya dari Kupang ke Atambua ? Kenapa tidak diatur sedemikian rupa per satuan waktu sehingga bus antar kota bisa dibatasi jumlahnya dan tidak terjadi pemborosan BBM, onderdil, waktu dan tenaga, juga dengan mengurangi jumlah armada bus yang disesuaikan dengan kapasitas penumpang maka akan mengurangi kepadatan lalu lintas dan peluang terjadinya kecelakaan. Berapa banyak gas buangan CO2 yang dapat dikurangi sehingga ikut menyumbang dalam mengurangi buangan emisi ke udara yang berarti ikut mengurangi pemanasan global ? Demikian pula dengan moda angkutan lainnya seperti angkutan ojek, angkota, kapal dll.

Pemuka agama telah menyerukan dan memasukkan agenda peduli lingkungan berupa tanam pohon pada jemaatnya, namun sayangnya seringkali himbauan ini hanya berhenti sebatas mimbar seperti halnya gerakan yang dicanangkan secara masal oleh pemerintah sering hanya menjadi gerakan sesaat karena belum didasari oleh kesadaran diri pribadi akan arti penting tindakannya.

Mendidik anak sejak usia dini dengan pemahaman yang utuh terkait lingkungan dan masuk menjadi muatan pelajaran dalam kurikulum sekolah menjadi sangat strategis untuk membentuk kepribadian warga yang sadar dan peduli lingkungan dimasa mendatang. Anak-anak merupakan harapan kedepan karena sangat sulit merubah watak orang dewasa yang sudah terlajur tidak peduli dengan lingkungan. Memang umur boleh dewasa, tetapi ketika membuang sampah secara sembarangan apakah mencerminkan kedewasaan ? Anak kecilpun kalau dibiasakan bisa buang sampah ditempatnya.

Jadi masalahnya apakah kita sebagai orang dewasa tidak tahu atau tidak mau tahu terkait pemanasan global dan perubahan iklim ?

Sayang sekali jika bumi yang kita diami yang hanya satu dan tak tergantikan ini terus saja dicemari dan dihancurkan oleh kita sebagai manusia yang katanya mahluk yang paling beradab namun dipertanyakan “keberadabannya” karena ketidak pedulian kita terhadap kerusakan lingkungan.

Jadi kalau bisa dibuat gampang, kenapa harus cari alasan pembenaran terus menerus ? Mulailah dari apa yang ada, mulai dari diri sendiri dan mulailah sekarang juga, lebih baik terlambat daripada tidak melakukan apa-apa.

Salam hijau,

YBT Suryo Kusumo
tony.suryokusumo@gmail.com

Menghijaukan batu berkarang Kupang menjadi kota ramah lingkungan

Siapa yang baru saja datang dan menjejakkan kaki di kota Kupang pasti akan terperangah melihat tonjolan batu karang meranggas diseantero kota terutama pada saat setelah memasuki musim panas.

Kota Kupang memang akan terlihat lebih hijau ketika musim hujan dimana rumput, semak dan pepohonan seolah berlomba untuk terus tumbuh dengan suburnya setelah hampir 9 (sembilan) bulan mengalami kekeringan yang gersang dan panas.

Namun bagi warga kota hal seperti ini sudah menjadi kelaziman dan bukan hal yang aneh, sudah terbiasa dengan aroma hawa panas yang menyengat, tiupan angin kering nan kencang di musim panas dan meranggasnya beberapa pohon naungan dipinggir jalan.

Tantangan untuk siapa ?

Menjadikan Kota Kupang lebih ramah lingkungan, lebih hijau dan terasa lebih sejuk merupakan tantangan bagi seluruh para-pihak /stake holder . Dalam era pemanasan global dimana konferensi internasionalnya baru saja terselenggara di Bali, peran apa yang dapat kita mainkan untuk mengurangi pemanasan global ? Atau yang lebih luas lagi, kontribusi apa yang dapat disumbangkan wraga kota dan Pemkot dalam menjadikan Kupang sebagai kota yang ramah lingkungan dan berkelanjutan ?

Mengandalkan Dinas Tata kota dan Pertamanan untuk secara sendirian menata Kota Kupang menjadi lebih menawan terasa kurang pas, karena di alam demokrasi, partisipasi dan keterlibatan aktip warga kota sangat diharapkan sebagai si empunya kota. Sudah bukan jamannya lagi untuk meletakkan semua persoalan kota dipundak Pemkot.

Yang masih menjadi pertanyaan, seberapa jauh warga dilibatkan dalam setiap pengembangan kota terutama dalam menjadikan kota Kupang sebagai kota yang ramah lingkungan ?

Peran dan tanggung jawab Dinas Pertamanan dan Tata Kota perlu disampaikan kepada warga demikian pula sosialisasi programnya perlu terus dilakukan. Perlu ada dialog interaktip anatar warga disatu sisi sebagai empunya kota dan disisi lain sebagai pihak yang harus dilayani oleh Pemkot, sehingga ada titik temu dalam pembagian peran yang jelas dalam mewujudkan kota yang asri. Perlu ada edukasi/ penyadaran terus menerus kepada seluruh warga kota tentang arti penting menjaga keindahan taman, menjaga kebersihan kota, menjaga fasilitas kota untuk kebaikan seluruh warga kota.

Tidak perlu lagi untuk saling menunggu apalagi saling menyalahkan satu dengan yang lain sehingga suasana kota menjadi lebih bersih, nyaman, asri dan membuat wraga kota bangga dan betah dengan keberadaan kotanya.



Pengelolaan lingkungan seputar rumah

Salah satu tindakan yang paling kecil, mudah dan nyata bagi warga kota adalah menata dan membersihkan lingkungan disekitar halaman rumahnya maupun diluar halaman sebatas yang masih menjadi tanggung jawabnya seperti misal membersihkan rumput dan menanami dengan tanaman bunga/hias.

Warga bisa memulai dengan membuat kompos dari sampah organiknya dan memanfaatkannya sehingga lahan menjadi lebih subur dan hijau, selain dapat mengurangi pencemaran karena tidak perlu dibakar dan meningkatkan kesegaran udara yang kita hirup.

Kalau mau lebih jauh , warga bisa dilibatkan dalam pembibitan tanaman penghijauan secara swadaya dengan difasilitasi oleh dinas terkait semisal Dinas Kehutanan untuk dibagikan kepada tetangga atau handai taulan sanak kerabat.

Pemanfaatan pekarangan dapat dilakukan dengan berbagai cara dan salah satu teknik yang dapat diterapkan untuk lahan yang terbatas adalah vertikultur yakni menggunakan rak tanaman keatas untuk menghemat ruang.

Selain itu pemanfaatan polybag/kantong plastik sebagai media tanam di batu berkarang juga dapat dilakukan meski ada sedikit kendala terutama harus menyiapkan sedikit dana untuk pembelian polybagnya.

Pemanenan air dengan berbagai teknik sederhana perlu dilakukan sebagai bagian dalam mewujudkan kota Kupang yang cukup air namun tidak kebanjiran maupun kekeringan.

Yang menjadi tantangan bersama adalah bagaimana aksi nyata mencintai lingkungan dapat menjadi gerakan bersama warga yang difasilitasi Pemkot.

Mesin birokrasi Pemkot dari tingkat RT  RW  dan Kelurahan maupun gerakan PKK dan Pramuka seharusnya dapat memutar roda aksi peduli lingkungan untuk terus menggema diseluruh kota sebagai program reguler dan bukan sekedar menjadi trend yang sesaat.


Pengembangan tabulapot

Di beberapa tempat sudah ada beberapa warga yang mengembangkan tanaman buah dalam pot . Selain teknologinya mudah, apabila kebiasaan mengembangkan tabulapot ini dapat menjadi gerakan bersama, maka selain menambah hijaunya lahan berkarang, juga akan terus menyediakan sumber vitamin dari hasil buahnya. Tabulapot juga tidak memakan tempat dan cocok dikembangkan dilingkungan padat penduduk. Pemkot dapat menfasilitasi pengadaan bibit tanaman buahnya yang cocok dikembangkan didaerah panas seperti mangga, belimbing, jambu air dll.


Pengembangan potensi laut

Pantai Lasiana yang menjadi tumpuan lokasi wisata yang berada dekat kota, murah dan meriah sebenarnya dapat dijadikan pilot proyek pengembangan pantai yang ramah lingkungan. Sayang hampir puluhan tahun Lasiana terkesan dibiarkan dikelola dengan cara seadanya dan kurang profesional. Alangkah bijak jika Lasiana sebagai etalase kota dari sisi pantai dapat dikelola dengan profesional dan dilengkapi dengan berbagai ragam permainan anak yang edukatip meski tidak semegah Taman Impian Jaya Ancol. Tempat berteduh yang sering tumbang dan cenderung tidak terkelola secara baik, tingkat kebersihan yang masih perlu ditingkatkan dll menjadi PR bersama.

Pembudidayaan rumput laut
Terlihat trend pengembangan rumput laut ada dimana-mana di NTT termasuk di pantai Kota Kupang. Permintaan pasar dengan harga yang layak menarik banyak pihak untuk ikut menangguk keuntungan dari potensi laut yang ada didepan mata. Hal ini sangat baik dilihat dari sisi ekologis karena tekanan untuk memenuhi kebutuhan hidup terbagi merata antara daratan dan laut sehingga diharapkan tercipta keseimbangan ekologis dalam mengelola potensi alam. Pemanfaatan pantai untuk rumput laut perlu dikaji mendalam termasuk dampaknya terhadap lalu lintas perairan. Selama memberi dampak positip, maka pengelolaan rumput laut juga memberi kontribusi terhadap kebersihan pantai sekaligus menjadi sandaran hidup bagi warga disekitarnya.



Menata kembali jalur hijau

Yang tak kalah penting dalam membuat hijau kota Kupang adalah bagaimana menata kembali jalur hijau yang ada sehingga mampu berperan sebagai paru-paru kota yang mampu membersihkan segala kotoran yang menyesakkan dada. Keindahan pantai sepanjang Pasir Panjang sebenarnya akan lebih menonjol apabila pohon-pohon yang menutupi keindahan pantai digantikan dengan tanaman perdu.semak maupun tanaman hias beraneka sehingga terlihat panorama pantai dengan deburan ombak dan kilap pasirnya terlihat secara jelas dari jalan raya yang ada disisinya. Sayang sebagian jalur hijau telah beralih fungsi menjadi kawasan peruntukan bisnis. Masalah pengelolaan taman-taman kota perlu ditingkatkan, perlunya menjaga kebersihan area publik dan juga masih banyaknya rumput liar yang menghiasi wajah kota terutama seputaran Penfui dan Walikota Baru menjadi fokus untuk dicarikan solusinya. Sayang apabila diantara jalan berhotmix dan merupakan jalan protokol masih dijumpai rumput dan tumbuhan liar yang dibiarkan merusak pemandangan kota.

Inilah tantangan bersama kita sebagai warga kota, bukan untuk mendapat pernghargaan Adi pura yang pura-pura adi, tetapi demi peningkatan kualitas kehidupan kita sebagai warga kota.

Selamat berkarya Walikota Kupang dan jajarannya, Tuhan memberkati.
Kami semua menunggu janji perubahan yang membuat “hidup menjadi lebih hidup”.

YBT Suryo Kusumo

Pemerhati kehidupan, warga Kota Kupang

tony.suryokusumo@gmail.com

Kepedulian dan kontribusi warga menjaga kelestarian lingkungannya

Di negeri kita Indonesia, begitu banyak orang yang mengetahui perlunya menjaga kelestarian lingkungan, namun sayangnya kebanyakan masih dalam taraf pengetahuan saja dan belum menjadi pemahaman bersama yang diikuti dengan tindakan nyata berupa gerakan bersama melestarikan lingkungan.
Kita dapat melihat dalam hidup keseharian, betapa banyak hal-hal yang sederhana yang seharusnya dapat dilakukan masyarakat, namun tetap saja tidak dilakukan sebagai sikap keseharian.
Bahkan terkait dengan hidup berbangsa dan bernegara , berbagai UU terkait lingkungan hidup telah mengatur terkait kelestarian lingkungan.
Salah satunya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 6 Ayat 1 yang berbunyi "Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup."


Kebersihan adalah sebagian dari iman

Dibeberapa tempat antara lain seperti di terminal bus tertempel tulisan yang sangat menarik yang berbunyi “Kebersihan adalah sebagian dari iman”
Kita diajak sekaligus ditantang untuk membuktikan kalau kita benar-benar mengaku sebagai orang yang beriman, maka sudah selayaknya perilaku dan sikap kita memberikan kontribusi yang positip terhadap terjaganya dan meningkatnya derajat kebersihan di lingkungan kita.

Tidak usah jauh-jauh, mari kita mulai bertindak dari “menjaga kebersihan disekitar kita”.
Sebagian besar warga mengetahui bahwa membuang sampah sembarangan adalah tindakan yang tidak terpuji dan menunjukkan ketidakpedulian terhadap kelestarian lingkungan. Namun kalau kita amati, berapa persen dari para perokok yang membuang putung rokok di tempat sampah ? Bahkan dikawasan elit seperti bandara masih banyak para perokok yang dengan entengnya membuang putung meski tampilan fisiknya perlente dan intelek. Belum lagi kebiasaan untuk mentaati larangan merokok di area publik. Sering terlihat begitu tidak sopan dan cueknya para perokok mengepulkan asapnya tanpa merasa bersalah mekipun keberadaan seseorang yang ada disampingnya sangat merasa terganggu dengan kepulan asap rokoknya. Apalagi bagi mereka yang tidak merokok, apabila menghisap asap rokok atau yang dikenal dengan perokok pasip akan menanggung resiko yang lebih besar dibanding perokok itu sendiri. Artinya kalau warga bangsa ini sadar begitu banyak aspek negatip dari kebiasaan merokok baik terkait kesehatan badan, kesehatan ekonominya, kebersihan lokasi dan udara, maka sudah selayaknya kampanye anti rokok didukung oleh sebagian besar warga.

Pengalaman ketika transit di bandara Juanda Surabaya, terlihat betapa cueknya sebagian besar penumpang dalam menjaga kebersihan bandara, Terlihat beberapa penumpang meninggalkan begitu saja sampah-sampah di kursi tanpa mau membuang ditempat sampah meski keberadaan tempat sampah hanya berada disampingnya. Mereka tidak peduli pada kebersihan dan tidak menghargai jerih payah para petugas kebersihan yang dengan sekuat tenaga menjaga tingkat kebersihan bandara yang bertaraf intenasional.

Menjadi pertanyaan yang menarik, sebenarnya tindakan para pelaku buang sampah sembarangan ini karena ketidaktahuan atau karena memang tidak mau tahu alias bebal ?

Kita juga dapat melihat terkait permasalahan banjir yang kita semua tahu salah satu penyebabnya adalah banyaknya warga yang membuang sampah sembarangan sehingga menyumbat atau mengurangi kapasitas saluran darinase/pembuangan dan juga mendangkalkan daerah tampungan air. Namun kegiatan buang sampah sembarangan tidak semakin menurun, terbukti masih terus beroperasinya alat pengeruk sampah di sungai maupun di daerah tampungan air dan pengerukan setiap tahun pada saluran pembuangan.

Belum lagi apabila dikaitkan dengan dampak yang ditimbulkan karena adanya tumpukan sampah yang dapat menyebabkan bau yang tidak sedap, munculnya wabah berbagai penyakit dll.

“Pertanyaannya, apa yang salah dengan masyarakat kita yang meski sudah tahu akibat buruk dari aktivitas membuang sampah sembarangan namun tetap saja melakukannya ?”


Pembelajaran dari usia dini dan dari keteladanan

Memang masalah menanamkan sikap kepedulian terhadap kelestarian lingkungan bukan hal yang mudah namun bisa dilakukan.
Yang pertama dilakukan adalah kesadaran dari diri kita sebagai bagian dari ekosistem untuk menjaga keseimbangan ekosistem dunia yang kita huni. Kita harus memulai dari sekarang juga, dari diri kita sendiri tanpa harus menunggu saat yang tepat untuk melakukannya. Yang paling mudah adalah menanamkan keadaran dalam diri kita sendiri bahwa perilaku membuang sampah sembarangan bukan hanya permasalahan melanggar hukum manusia tetapi juga melanggar dari aturan norma moral karena selain membuat lingkungan menjadi tidak indah dan nyaman, juga membahayakan bagi sesama lainnya, menimbulkan pencemaran baik di air, darat maupun udara yang dapat menyebabkan turunnya kualitas kehidupan manusia maupun hewan lainnya.Kita hanya diingatkan oleh diri kita sendiri untuk menyimpan dulu dan bertahan untuk tidak membuang dulu sampah sembarangan apabila belum ditemukan tempat sampah yang disediakan.

Pengalaman ketika naik kapal di laut, begitu mudah para penumpang, bahkan juga ABK membuang sampah ke laut, seolah-olah tidak akan terjadi dampak negatip, padahal kita tahu dampak negatip sampah plastik yang dapat merusak binatang laut berupa terumbu karang yang berfungsi dalam mengatur keseimbangn ekosistem laut. Banyak diantara kita masih menganggap bahwa laut adalah “tempat buangan sampah yang sangat luas” yang dengan seenaknya kita bisa membuang sampah tanpa perlu merasa bersalah.

Demikian pula dengan keberadaan sungai yang seperti halnya laut , masih dianggap sebagai tempat buangan sampah yang “meluas dan memanjang”. Bahkan yang lebih mengenaskan, masih banyak pemilik pabrik disepanjang sungai yang mengambil jalan pintas membuang limbah berbahaya ke sungai hanya demi pertimbangan efisiensi biaya semata karena tidak perlu mengolah limbah, tanpa mau berpikir panjang bahwa tindakannya akan sangat membahayakan warga disepanjang sungai yang memanfaatkan air sungai, padahal mereka tahu fungsi sungai salah satunya adalah menyediakan bahan baku untuk air bersih dan juga dapat digunakan sebagai jalur transportasi. Kita masih ingat pelaksanaan PROKASIH (Program Kali Bersih) yang pernah dicanangkan pemerintah dijaman ORBA salah satunya di Kali Ciliwung ternyata tidak berkelanjutan karena tidak didukung dan menjadi bersama gerakan warga Jakarta dan sekitarnya yang dilewati Kali Ciliwung.
.

Kebiasaan membibitkan dan menumbuhkan tanam

Sejak usia dini sebaiknya anak-anak kita sudah dikenalkan dengan lingkungan, diajak mengamati dan meneliti alam, mengenal lebih dekat dengan alam ciptaan TUHAN.
Kecintaan terhadap alam harus terus ditumbuhkan dengan jalan memelihara tanaman, membibitkan berbagai tumbuhan dan tanaman, menanam dan menumbuhkannya sehingga mempunyai fungsi yang positip dalam menunjang keberadaan bumi yang kita tumpangi. Pendidikan diusia dini seperti PAUD, TK, SD, SMP sudah selayaknya mengajarkan betapa pentingnya berperilaku positip dan berkontribusi dalam ikut serta melestarikan alam melalui tindakan keseharian yang gampang semisal membuang sampah ditempatnya, menghijaukan lingkungan sekolah dll. Kebiasaan Romo Mangun yang selalu melempar biji apa saja untuk supaya tumbuh merupakan bukti kecintaan beliau pada lingkungan. Tidak perlu kita muluk-muluk menanam sampai ribuan pohon, namun apabila sebagian besar warga negara sadar bahwa kecintaan kepada bumi pertiwi diwujudkan salah satunya melalui menumbuhkan tanaman dan menjadikannya sebagai sebuah gerakan bersama, maka alam Indonesia dipastikan akan lebih hijau, teduh, sejuk , segar dan nyaman. Dengan kondisi demikian pasti derajat kesehatan masyarakat juga akan semakin meningkat seiring meningkatnya kualitas alam yang mendukungnya.

Kebisaaan memberi kado berupa tanaman

Kebiasaan baru sebaiknya ditumbuhkan di masyarakat dalam rangka lebih menghijaukan bumi sekaligus berkontribusi secara nyata dan bukan hanya wacana, dalam mengurangi laju pemanasan global, mengurangi emisi karbon dan menciptakan lingkungan yang lebih sejuk dan nyaman. Kebiasaan memberi kado berupa tanaman perlu disosialisasikan dan menjadi kebanggaan sebagai warga yang peduli pada kelestarian lingkungan.Juga kebisaaan menyatakan rasa sayang dan kecintaan terhadap seseorang dengan memberi setangkai bunga segar akan sangat membantu mendekatkan manusia dengan alam dan memberi lapangan kerja bagi pengrajin bunga segar dan tidak hanya ada di tayangan sinetron.

Peduli tanam pohon

Program “gerakan penanaman sejuta pohon” yang dicanangkan pemerintah ternyata juga hanya sebatas menanam tanpa memonitor kelanjutan hidup tidaknya tanaman, yang terpenting secara seremonial dan secara formalitas sudah dilakukan. Sebenarnya penamaan gerakannya perlu diganti dengan “gerakan menumbuhkan sejuta pohon” sehingga ada tanggung jawab moral untuk terus mengupayakan agar tanaman yang ditanam dapat tumbuh dan berkembang sehingga mempunyai fungsi dalam melestarikan lingkungan.

Daur ulang (3R; Reduce, Re-use, Re-cycle,)
MENGURANGI (Reduce) ?
Kebiasaan kita warga kota yang sering mengklaim diri sebagai warga modern ternyata justru menjadi produsen sampah terbesar dibanding warga yang tinggal diperdesaan.
Dan harus diingat bahwa alam tidak pernah memproduksi sampah, justru peradaban manusialah yang mengaku dirinya semakin maju yang justru semakin menggila dalam memproduksi sampah. Namun bukannya kita tidak dapat memperbaiki kesalahan, melalui perubahan perilaku yang sangat mudah seperti mengubah kebiasaan memakai kantong plastik dengan tas belanja kain atau lainnya yang dapat dipakai berulangkali, memakai sapu tangan dan mengurangi penggunaan kertas tissue, memakai handuk berulang-ulang ketika di hotel mampu mengurangi pemborosan air dan pencemaran detergent, mengurangi berlangganan majalah dan koran dan menggantikan dengan membaca melalui dunia maya (on-line) sehingga dapat mengurangi penggunaan kertas yang dibuat dari bahan kayu-kayuan, dll.
Pemanfaatan tanaman herbal dalam pengobatan, pemanfaatan pestisida hayati.botani, pemanfaatan pupuk organik, pengurangan pemanfaatan obat nyamuk melalui penggunaan kelambu dan memasang kasa-kasa, meupakan tindakan sederhana namun penuh makna dalam mengurangi pencemaran lingkungan.
Penanaman sayur dan TOGA (tanaman obat keluarga) dan mengkonsumsinya dalam keseharian mampu mengurangi sampah berupa kemasan makanan awetan, selain juga lebih sehat bagi tubuh kita.
MENDAUR ULANG (Recycle) ?
Sebagian besar masyarakat kita masih sering menganggap para pemulung adalah kaum hina dengan strata sosial yang rendah, padahal kalau kita paham arti pentingya sebuah proses daur ulang dalam pelestarian lingkungan maka sudah selayaknya kita mengangkat topi dan memberi penghargaan yang tinggi pada para pemulung atas jasanya ikut serta secara tidak langsung mengurangi pencemaran lingkungan. Sudah seharusnya kita justru bertindak membantu mereka dengan jalan memilah sampah rumah tangga kita menjadi dua bagian yakni sampah organik dan sampah non organik yang masih dapat didaur ulang. Logam, plastik dan serpihan kaca dapat didaur ulang sehingga menghemat sumber daya alam dalam penggunaannya.
MENGGUNAKAN ULANG (Reuse) ?
Apalagi jika telah tumbuh kesadaran untuk mengomposkan sendiri sampah organik yang dihasilkan dari rumah tangga maupun lingkungan sekitarnya dengan menggunakan alat dekomposer dan bahan aktivator mikrobia akan sangat membantu karena mengurangi volume sampah yang harus diangkut ke TPA, juga dapat meningkatkan kesuburan kahan disekitar rumah. Mengelola sampah dengan cara membuang sudah usang dan perlu dicari alternatip yang lebih ramah lingkungan. Pembuangan sampah selain hanya memindahkan masalah juga memboroskan BBM dalam pengangkutannya. Juga pemakaian kertas daur ulang untuk keseharian kita akan sangat membantu dalam pelestarian lingkungan. Pembuatan kerajinan dari bahan daur ulang juga membantu menjaga lingkungan dari pencemaran selain meningkatkan pendapatan.

Sikap hidup hemat (energi, BBM.dll)

Tayangan iklan PLN di televisi tentang kebiasaan perlunya mematikan listrik yang tidak perlu pada jam 17 – 22 , sebenarnya bukan hanya didasari keterbatasan kemampuan PLN dalam memasok listrik pada jam sibuk dan terkuranginya tagihan listrik, namun sebenarnya juga menyadarkan kita arti pentingnya berhemat energi, terutama energi lsitrik yang sebagian juga dihasilkan dari penggunaan BBM dan batubara sebagai sumber energi yang tidak terbarukan. Jangan karena kita mampu membayar listrik sebeberapapun banyaknya lantas kita mentang-mentang alias seenaknya sendiri dalam pemakaian listrik.

Pemanfaatan sarana transportasi yang hemat energi terus dikampanyekan oleh berbagai pihak. Kita masih ingat kampanye yang dilakukan A’a Gym seorang dai kondang dan juga seruan Presiden Susilo Bambang Yoedhoyono dalam pemakaian sepeda sangatlah luar biasa apabila dapat menjadi gerakan bersama warga kota baik di Jakarta maupun di kota besar lainnya. Manfaat yang dapat dirasakan selain menurunkan besarnya pemakaian BBM yang masih disubsidi negara, mengurangi polusi udara, meningkatkan kebersamaan, meningkatkan derajad kesehatan pengendaranya, juga
mengurangi pengeluaran ongkos transpor yang kalau ditabung dan diinvestasikan dalam bidang yang produktip bisa menjadi sumber pembiayaan keuangan bagi pembangunan bangsa tanpa harus terus berhutang ke Bank Dunia atau negara lainnya. Artinya kita tidak harus membayar bunga ke bangsa lain tetapi kepada rakyatnya yang mampu brhemat dan menabung untuk investasi yang berarti ikut meningkatkan pendapatan masyarakat.Namun pihak pemerintahan kota harus secara adil menyediakan jalur khusus untuk moda transportasi yang tidak bermesin seperti sepeda, becak, andong/ cidomo dll.


Pentingnya penegakan hukum
Lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran membuang sampah sembarangan dan yang bersifat merusak lingkungan seperti illegal logging mengakibatkan semakin banyak warga yang tidak peduli dengan kebiasaan membuang sampah pada tempatnya dan semakin menggilanya para cukong kayu membabat habis hutan. Tidak ada penindakan sama sekali terhadap “para pembuang sampah sembarangan” dan pelanggar hukum lingkungan lainnya yang notabene seharusnya sudah memahami arti penting kelestarian lingkungan.

Demikian pula lepasnya para pelaku pembalakan liar dalam skala besar dari jeratan hukum dengan berbagai alasan pembenaran “hukum yang tidak benar” semakin membuat rakyat yang berada disekitar daerah pembalakan liar semakin was-was kira-kira bencana apa lagi yang akan meluluhlantakkan dan memporakporandakan kehidupan mereka dan keturunannya ? Apalagi dikaitkan dengan rencana akan diselenggarakannya pertemuan internasional di Bali terkait perubahan iklim global dimana Indonesia sebagai tuan rumah, lalu apa kata dunia ?

Maka menjadi wajar apabila Indonesia dijuluki “negeri seribu satu bencana”, karena perilaku warga kita yang tidak ramah lingkungan dan tidak menjadikan alam sebagai sahabat. Ilegal logging,, tata ruang yang dilanggar karena atas nama bisnis dan pertumbuhan ekonomi, prosedur tetap yang tidak diikuti berakibat pada datangnya banjir bandang, kekeringan dan longsor dimana-mana, juga luapan lumpur di Porong Sidoarjo yang semakin melebar dan tak terkendali .

Tindakan kita yang lebih banyak reaktif daripada proaktif semakin menjadikan kita sebagai sebuah bangsa yang terus dirundung malang karena tidak mau belajar dari pengalaman. Kita masih terus menantang alam dan berusaha menaklukkan, padahal yang dibutuhkan dalam hidup adalah bagaimana kita berdamai dengan alam tanpa menjadi rakus, tamak yang berakibat kita menjadi sengsara karena perilaku kita sendiri.

Masalahnya, kapan kita mau sadar dan bertindak ? Masih perlukah kita mengunggu bencana yang lebih besar dan lebih membinasakan ? Dimanakah peran kita sekecil apapun terhadap kelestarian lingkungan ?


YBT Suryo Kusumo
Pengembang masyarakat perdesaan
tony.suryokusumo@gmail.com

Hutan NTT, mata air yang menjadi air mata

Menarik apa yang diungkapkan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) dalam pengantar pelantikan Menhut yang baru yakni Marzuki Usman yang menggantikan Nur Mahmudi Ismail di istana Negara, Jakarta sabtu (17/3/2001) pagi. Beliau mengatakan, karena kelalaian melestarikan hutan, wilayah propinsi NTT dan NTB sekarang gundul menjadi padang rumput atau sabana. Padahal dulu dalam literatur lama, kedua daerah tersebut adalah daerah hutan yang sangat besar. Presiden menyebut daerah NTT dan NTB yang kini menjadi gundul itu sebagai contoh kelalaian bangsa Indonesia melestarikan hutan. Karena itu pesan Presiden Gus Dur kepada Menhut yang baru agar menyelamatkan dan melestarikan hutan Indonesia agar tetap menajdi kekayaan alam yang berguna bagi perekonomian nasional dan sebagai paru-paru dunia. “Hutan adalah kekayaan alam, jadi harus dikelola sebaik-baiknya sebagai bagian dari kekayaan nasional” kata Gus Dur. Pernyataan tersebut seharusnya membuat kita sebagai warga NTT merasa malu hati dan berintrospeksi untuk segera berbenah diri untuk menyadari arti strategis sebuah hutan bagi kelangsungan hidup seluruh warga yang mendiami NTT. Dan bagi Dinas Kehutanan di NTT, pernyataan Presiden seharusnya dijadikan PR (pekerjaan untuk rakyat) yang harus diprioritaskan dan dijamin keberhasilannya. Dinas Kehutanan sudah seharusnya mengkaji kembali kegagalannya dalam menghutankan NTT, karena sudah begitu besar dana yang dihabiskan untuk menghutankan kembali namun menjadi mubasir dan sia-sia serta pemborosan yang luar biasa ketika kita masih dapat melihat dengan kasat mata banyaknya lahan kritis dan gundul diseputar kehidupan kita di NTT.

Masa keemasan cendana

Kalau kita tengok kembali kebelakang, kedatangan penjajah baik Belanda maupun Portugis, maka motivasi utama dari kedatangan mereka adalah mengambil kekayaan alam yang dihasilkan oleh bumi Nusantara, tidak terkecuali NTT. Salah satu hasil kekayaan alam yang sangat terkenal di NTT adalah kayu cendana. Begitu terkenalnya kayu cendana karena wangi bau dan harganya, sehingga menjadi nama sebuah universitas negeri di Kupang dan juga dipilih menjadi nama jalan rumah kediaman penguasa Orde baru sehingga keluarga mereka terkenal dengan sebutan ‘Keluarga Cendana’ yang sangat kontras kehidupan dan perilakunya dengan “keluarga Cemara” di sinetron RCTI. Pada masa Orde Baru, pohon cendana sangat diatur tata niaganya, bahkan cenderung dimonopoli oleh pemerintah karena memberi andil yang besar bagi pendapatan baik pemerintah maupun oknum yang mengatur tata niaganya. Akibat dari ketatnya pengaturan cendana, maka rakyat menjadi sangat marah meski diam dan melakukan pembangkangan pasip dengan tidak lagi mau menanam dan memelihara cendana sehingga berakibat populasi cendana semakin sedikit jumlahnya , kalau tidak mau dikatakan punah. Baru akhir-akhir ini ada usaha dari pemerintah untuk menanam kembali cendana, termasuk yang dilakukan Dinas Kehutanan TK II Kupang, namun meskipun dibagikan secara gratis, respon masyarakat untuk menanam di pekarangan rumahnya sebagai penghijauan masih relatip rendah.



Mata air berubah jadi air mata

Keberadaan kawasan hutan di NTT menjadi startegis, ketika kita membicarakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat. Otonomi daerah akan berhasil apabila mengandaikan pemda dan masyarakat mau dan mampu mengelola SDA, SDM yang ada mampu memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi , birokrasi yang profesional bebas KKN, adanya akuntabilitas kinerja pemda dan kontrol maupun akses dimiliki oleh rakyat terhadap eksekutip, legislatip dan yudikatip. Maka profesionalitas dinas kehutanan dan seluruh potensi yang ada di masyarakat (intelektual, agamawan, LSM, swasta dll) sangat diharapkan dalam mengelola hutan yang ada serta menumbuhkan kembali hutan yang terlanjur menjadi padang alang-alang/ sabana. Keberlanjutan generasi mendatang dan keberlanjutan pembangunandi NTT juga sangat ditentukan oleh kemampuan kita untuk mengelola hutan sebagai aset ekonomi yang diharapkan mampu memberi kontribusi bagi kemakmuran NTT.

Salah satu fungsi yang sangat penting dari sebuah keberadaan kawasan hutan adalah kemampuannya menjaga daur hidrologis sehingga dapat membantu ketersediaan air di musim kemarau melalui mata air yang muncul akibat tersimpannya air oleh keberadaan kawasan hutan beserta tegakan pohonpohonnya maupun kemampuannya menghindarkan terjadinya banjir ketika musim hujan berlangsung. Air yang merupakan sumber kehidupan bagi mahluk hidup termasuk didalamnya masyarakat NTT, keberadaan dan ketersediaannya tidak dapat tergantikan dan mutlak harus terpenuhi. Bahkan syarat mutlak tingkat kualitas kehidupan masyarakat salah satunya adalah ketersediaan air yang memenuhi kualitas layak minum dalam jumlah yang cukup tersedia. Tingkat kesehatan masyarakatpun sangat tergantung dari ketersediaan air yang cukup baik jumlah maupun kualitasnya untuk keperluan mandi, masak, minum, mencuci dan WC, bahkan untuk ternak yang kita pelihara. Sebaik dan semewah apapun sarana dalam rumah kita, apabila tanpa ketersediaan air yang cukup maka akan mengurangi kenikmatan kita sebagai penghuni. Maka keberadaan hutan dalam menyangga sebuah kawasan pemukiman sebagai penyedia air sungguh perlu diperhatikan. Jangan sampai kelengahan kita melestarikan hutan menjadi malapetaka yang menyebabkan mata air berubah menjadi air mata mengalir dan kita cenderung melihat itu semua sebagai bencana yang berasal dari ‘Sang Pencipta’.

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat

Bagaimana kita sebagai warga NTT menyikapi kelalaian yang menyebabkan lahan gundul dan menjadi padang rumput atau sabana ? Apakah masalahnya menjadi selesai jika kita saling menyalahkan atau ketika kita hanya menyalahkan dinas yang terkait dengan pengelolaan hutan ? Memang kita harus menuntut kinerja yang paling maksimal dengan biaya serendah-rendahnya dari dinas kehutanan dalam mengelola hutan, dan perlu membuat kesepakatan bersama mengenai indikator keberhasilan pengelolaan hutan yang harus disosialisasikan dan diketahui oleh masyarakat. Sudah saatnya kita sebagai masyarakat juga ikut mengontrol pelaksanaan pengubahan lahan gundul dan padang rumput menjadi hutan, sehingga laju pemborosan uang negara tidak terulang. Pengelolaan hutan sebaiknya melibatkan secara penuh masyarakat terutama yang terkait langsung dengan keberadaan sebuah kawasan hutan. Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR) yang mengelola hutan perlu ditumbuhkan dan dikembangkan dimana masyarakat disiapkan terlebih dahulu dengan pelatihan teknis, maupun manajemen pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat disekitar hutan untuk menjadi pengelola yang baik menjadi prioritas apabila kita ingin melihat kembali tumbuhnya hutan dan keberlanjutannya di NTT. Dasar pertimbangan logisnya adalah masyarakat sekitar hutan tidak akan dengan bodohnya merusak hutan yang menghidupi diri dan keluarganya. Dengan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat ditambah dengan peningkatan ketrampilan teknis dan manajerialnya, maka diharapkan perusakan hutan oleh pengelola HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang dipicu motip ekonomi karena didorong kerakusan dan ketamakan dapat dihindari dan digantikan pengelolaannya oleh masyarakat yang sadar lingkungan. Masyarakat sekitar hutan dapat menjadi pengelola hutan namun tidak diperbolehkan untuk dijual dan hanya dapat diwariskan dalam hak mengelolanya kepada anak cucunya. Dengan demikian kepanjangan NTT dari ‘Nasib Tidak Tentu’, “Nasib Tergantung Tuhan” dll, tetapi menjadi “Nasib Tergantung Tekad’ dan terkait dengan pengelolaan hutan menjadi ‘Nasib Tanah Terjamin’ dalam hal kesuburan dan kelestariannya karena keberadaan hutan tetap terjaga.




YBT. Suryo Kusumo
Pengembang masyarakat pedesaan

Lahan kritis, siapa mau peduli ?

Menarik menyimak tayangan iklan salah satu produk shampo yang mengatakan “Ketombe, siapa takut ?”. Terlihat begitu percaya dirinya seseorang akan ketiadaan ketombe dalam rambut dikepalanya, apabila sudah menggunakan produk tersebut.
Jika terhadap ketombe saja, kita begitu peduli, lalu bagaimana kepedulian kita terhadap keberadaan lahan kritis yang menjadi asset dan tumpangan hidup bagi sebagian besar warga NTT? Alangkah ironisnya kita, apabila terhadap ketombe yang tidak terlalu membahayakan kehidupan, kita prioritaskan penanganannya, sementara proses perusakan lahan yang menopang kehidupan menuju terbentuknya lahan kritis yang tandus , kita menjadi tidak peduli.

Keberpihakan pada rakyat

Berbicara masalah lahan kritis, sebenarnya kita dapat menggugat kebijakan pembangunan dan hasil-hasilnya selama ini. Kalau kita memperhatikan sektor non pertanian,maka terlihat penanganannya akan lebih diprioritaskan , misal penyediaan kredit untuk usaha bisnis, akan lebih mudah didapatkan dan lebih besar jumlahnya dibanding kredit yang disediakan untuk petani. Demikian pula terkait dengan keuntungan yang diperoleh, terlihat bahwa mereka yang bergerak diluar sektor pertanian akan mendapatkan imbalan jerih payah yang lebih baik dalam hal keuntungan dibanding petani yang membanting tulang menghabiskan waktunya di kebun dengan kerja fisik yang melelahkan. Komoditas hasil pertanian harganya sangat fluktuatip / turun naik tidak tentu dan posisi tawar menawar petani sangat rendah di pasar, sehingga harga sangat ditentukan oleh pemain pasar yang nota bene bukan petani dan sebenarnya merekalah yang saat ini hidup layak menikmati cucuran keringat petani. Kebijakan pemerintahan Orde Baru yang menggunakan petani sebagai landasan/ pondasi pembangunan dan mengorbankan hak-hak petani menyebabkan semakin banyak masyarakat yang tidak mau menggantungkan hidupnya dari hasil bertani.

Kita masih ingat kasus BPPC yang menyebabkan kesengsaraan luar biasa bagi petani cengkeh sehingga membuat petani frustasi dengan cara menebang pohon cengkehnya hanya karena permainan harga oleh penggagas dan pengurus BPPC.

Demikian pula harga kopi yang pernah mencapai titik rendah dan tidak layak, menyebabkan sebagian petani menebang pohon kopinya. Padahal keberadaan tanaman cengkeh dan kopi mampu berfungsi mengurangi erosi yang terjadi di lahan, namun petani tidak terlalu peduli dengan masalah erosi dan kelestarian lingkungan. Yang utama bagi petani adalah adanya nilai ekonomis yang dianggap layak sehingga mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga mereka. Menjadi tantangan bagi pemerintahan transisi reformis saat ini untuk membuktikan keberpihakannya pada rakyat dengan mengatur tata niaga pertanian yang lebih berpihak dan menguntungkan petani sehingga petani akan melihat lahan/kebun sebagai asset dan kantor tempat keluarganya menggantungkan hidup dari hasil berkantor di kebun.
Siapa yang bertanggung jawab ?

Menyikapi keberadaan lahan kritis yang ada didepan mata kita, yang menjadi pertanyaan adalah siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab untuk menangani permasalahan lahan kritis tersebut ? Yang paling mudah pasti mengatakan bahwa itu adalah tanggung jawab petani sebagai pemilik lahan. Namun kita juga dapat mempertanyakan sampai sejauh mana pendampingan dari dinas-dinas terkait dan pihak –pihak lain yang peduli (Gereja, LSM, Perguruan tinggi, Intelektual, kalangan bisnis dll) ikut mengurangi terjadinya lahan kritis .
Kita tidak dapat dengan serta merta mebebankan semua itu pada pundak petani yang sudah sarat dengan penderitaan dan menyalahkan mereka yang bertani dengan cara tebas bakar dan berpindah-pindah dengan rotasi yang semakin pendek tanpa usaha konservasi lahan dan air sehingga menyebabkan semakin besarnya erosi yang menyebabkan terjadinya lahan kritis. Ketidaktahuan dan sedikitnya informasi yang sampai pada petani serta minimnya pelayanan dan pendampingan kepada mereka, sebenarnya mampu menjadikan kita lebih menyadari perlunya kepedulian kita semua pada kehidupan petani yang sebagian besar masih hidup susah. Meskipun banyak dari kita yang sudah “menjadi orang dan mapan” dengan biaya pendidikan yang didukung dari hasil bertani orang tua kita, namun sering kita lupa menyadari kesulitan yang dihadapi petani dan lebih baik menghindar dengan tidak memilih berprofesi menjadi petani. Maka akan sangat logis jika seorang anak ditanya cita-citanya, tidak akan dengan bangga menyatakan ingin menjadi petani, melainkan dengan bangganya akan mengatakan dirinya ingin menjadi dokter, insinyur dsb. Maka keberadaan lahan kitis sebenarnya menggambarkan coreng moreng kehidupan kita mewujudkan religiositas dan Pancasila dalam kehidupan yang nyata yakni memelihara ciptaan Tuhan YME yang pada awal mulanya baik adanya , dan merupakan titipan anak cucu, bukannya merupakan warisan nenek moyang yang dapat kita perlakukan semau kita.

Solusi alternatip penanganan lahan kritis

Penanganan lahan kritis mau tidak mau harus melibatkan semua pihak yang peduli pada keberlanjutan hidup kita yang bergantung pada hasil lahan untuk mencukupi kebutuhan hidup, terutama makanan kita sehari-hari.

Namun yang harus lebih berperan adalah penyelenggara negara yakni pemerintah dalam hal ini dinas-dinas yang terkait langsung dengan kehidupan petani, karena dinas-dinas inilah yang mempunyai kapasitas yang besar, dukungan yang kuat dan wewenang untuk melakukan pendampingan dan asistensi teknis kepada petani. Mari kita lihat dukungan yang dimiliki dinas seperti SDM , dana, peralatan, sumber informasi, manajemen dll, yang sebenarnya dapat didayagunakan secara maksimal untuk pendampingan pada petani dalam merubah pola pikir dan kebiasaan petani dari pertanian lahan berpindah-pindah , tebas bakar dan tanpa konservasi tanah dan air menuju pertanian lahan menetap, dengan menerapkan teknik konsernvasi lahan dan air, diversifikasi tanaman, penggunaan pupuk organik yang tidak perlu didatangkan dari luar dan harus dibeli, penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan memanfaatkan pestisida botanis sehingga dapat berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan dapat menjadi alternatip sistem pertanian yang dikembangkan dan menjadi pilihan petani.
Dalam makalahnya berjudul “Pengembangan Sistem Pertanian Berwasaan Lingkungan Dalam Meyongsong Pertanian Masa Depan”, DR. Ir. Rachman Sutanta MSc menjelaskan tentang Pertanian Berkelanjutan
Pertanian Berkelanjutan adalah keberhasilan mengelola sumber daya untuk pertanian dalam memenuhi perubahan kebutuhan manusia sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumber daya alam (TAC/CGIAR, 1988)
Tujuan Pertanian Berkelanjutan adalah ; Mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah, mempertahankan hasil pada tingkat optimal, mempertahankan dan meningkatkan keragaman hayati dan ekosistem, serta mempertahankan dan meningkatkan kesehatan penduduk dan mahluk lainnya
Menurut Diver dan Talbot, berkelanjutan dalam pembangunan pertanian adalah :membatasi ketergantungan pada energi yang tidak terbarukan senyawa kimia dan bahan mineral, mengurangi pencemaran udara tanah,dan air dari luar usaha tani, memelihara dan mempertahankan keadaan habitat untuk kehidupan alami, melakukan konservasi sumber genetik/plasma nuftah (keaneka ragaman hayati) tanaman maupun hewan yang diperlukan untuk pembangunan pertanian.
Untuk menjadikan lestari, sistem pertanian harus mampu mempertahankan produktivitas ditinjau dari segi ekologsi, sosial, dan tekanan ekonomi maupun sumber daya terbarukan tidak harus mengalami kerusakan ( Sinclair, 1987).
Prinsip-prinsip Pertanian Berkelanjutan adalah ; Aman menurut wawasan lingkungan, menguntungkan menurut pertimbangan ekonomi, diingini menurut pertimbangan social, tanggap beradaptasi terhadap semua bentuk kehidupandan mudah beradaptasi dengan perubahan
Pertanian Berkelanjutan lebih memilih masukan dari luar usaha tani rendah (LEISA = Low External Input Sustainable Agriculture)
Masukan dari luar usaha tani rendah berarti : memanfaatkan bahan lokal, benih lokal, teknologi lokal, kearifan lokal dll, memasukkan tanaman serbaguna (baik sebagai kayu bakar, pupuk, makanan ternak, tanaman penguat teras, tanaman pelindung dll, memakai pupuk organik ( kotoran ternak, kompos, pupuk hijau, humus dll)Melaksanakan Pengendalian Hama terpadu (PHT) dan penggunaan pestisida botanis

Dalam mengatasi lahan kritis, peranan para pemuka agama juga sangat diharapkan dalam meningkatkan spiritualitas petani untuk tidak hanya melihat profesi sebagai petani untuk mendapatkan uang semata, tetapi juga menyediakan bahan makanan untuk sesamanya sebagai perwujudan iman dalam perbuatan. Memberikan penyadaran kepada para petani bahwa membiarkan lahan menjadi kritis dan dibiarkan kosong/tidur berarti membiarkan lahan ciptaan Tuhan menjadi rusak adalah pasti tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan iman yang diyakininya, seperti halnya orang yang diberi talenta namun hanya disimpan saja.

Para pendidik ditantang untuk melakukan penyadaran akan pentingnya menjaga kesuburan dan daya dukung lahan kepada para siswa yang dapat dimulai dari pendidikan anak-anak di sekolah dasar dengan memasukkan pelajaran yang berupa muatan lokal yang materi pelajarannya terkait dengan teknik-tenik konservasi lahan dan air, pelestarian lingkungan yang dapat berupa bahan bacaan bergambar/komik.

Para intelektual ditantang untuk menghasilkan pemikiran yang dapat diterapkan di lahan petani, sehingga penelitian terapan yang dilakukan sebaiknya dilakukan secara partisipatip dengan melibatkan petani yang akan menikmati hasil penelitiannya , dan pada akhirnya hasil penelitian yang menghabiskan dana yang tidak sedikit menjadi tidak mubasir.

LSM-LSM ditantang untuk meningkatkan perannya dalam melakukan pemberdayaan pada tingkat petani sehingga petani siap untuk mengakses dan menerima informasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan alam lingkungannya

Para pembisnis ditantang untuk membantu petani dalam membangun jaringan pemasaran bersama yang adil , sehingga harga komoditas petani tidak turun naik/ berfluktuasi dan pembagian keuntungan dapat adil dan seimbang. Dengan pembagian keuntungan yang adil serta harga yang layak, petani termotivasi untuk terus berproduksi, sehingga aliran pasokan komoditas pertanian akan lancar dan berkelanjutan yang pada gilirannya juga akan berpengaruh pada keberlanjutan kegiatan bisnis mereka.

Diharapkan dengan kebersamaan dan bergandengan tangannya semua pihak yang peduli pada penanganan lahan kritis dapat mensinergikan kekuatannya dan menjadi lebih berhasil guna dan berdaya guna, daripada saling hanya menyalahkan maupun saling mengaku dirinya yang paling berperan. Dan jika ada pertanyaan tentang lahan kritis, maka kita dengan bangga akan mengatakan siapa takut mengelola untuk kebaikan anak cucu kita ? Semoga Tuhan YME menganugerahkan berkat kepada semua pihak yang berkehendak baik.

Kamis, 10 Juli 2008

Pengendalian Hama Dengan Pestisida Alami, Mengapa Tidak ?

Dalam pengelolaan usaha pertanian, ada beberapa faktor yang menunjang keberhasilan dalam meningkatkan produksi yaitu tanah, iklim, tanaman serta pengendalian hama dan penyakit maupun gulma.
Peranan kita sebagai pengelola usaha tani dalam menyiapkan semua faktor penunjang keberhasilan sangat penting. Dan salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah pengendalian hama. Yang dimaksud dengan hama disini adalah semua organisme pengganggu berupa binatang/hewan.

Pengendalian secara alami, pilihan tepat.

Dalam berbagai media yang menyampaikan informasi kepada para petani terlihat begitu gencar iklan yang disampaikan mengenai hebatnya produk industri pestisida kimiawi terutama racun (sering salah diucapkan sebagai obat) untuk hama tanaman.
Berbagai cara ditempuh oleh produsen pestisida kimiawi untuk meyakinkan para petani bahwa tanpa obat-obatan (lebih tepat ‘racun’) para petani akan gagal panen.
Dan sebagian penyampaian informasi bersifat menyesatkan, karena ada bagian informasi penting yang tidak disampaikan pada para petani. Kalaupun disampaikan, karena keterbatasan petani dalam mengelola informasi, pesan tersebut tidak mudah dimengerti dan tidak dilaksanakan. Berbagai formula dan merek dagang disajikan bagaikan menu makanan yang harus dipilih petani sebagai santapan. Bahkan secara tidak disadari, sering PPL ikut mendorong penggunaan pestisida kimiawi yang sebenarnya penggunaannya merupakan alternatip terakhir, perlu dibatasi dan diperlakukan dengan sangat hati-hati karena menyangkut penggunaan ‘racun’ yang dapat membahayakan kehidupan semua mahluk dibumi termasuk tanpa kecuali para petani itu sendiri. Kesembronoan dan kenekatan dalam penggunaan pestisida kimiawi secara berlebihan disamping secara ekonomis merugikan, secara ekologis dapat menggangu keseimbangan lingkungan dan menjadi bumerang yang dapat berakibat sangat fatal dan merugikan dalam jangka panjang.
Maka ‘Pemerintah’ melalui program nasional PHT )Pengendalian Hama Terpadu) secara bijaksana melalui berbagai terobosan yang dilakukan telah mencoba mengurangi tingkat pemakaian dan ketergantungan para petani pada penggunaan ‘racun’ buatan pabrik dan lebih menekankan dan mengarahkan pada pengendalian secara alami dengan memanfaatkan pergiliran tanaman, sistem tumpang sari, pengendalian hayati (menggunakan predator maupun parasit), penggunaan varitas tahan hama maupun pestisida botanis/alami.
Dan dalam program nasional PHT, pestisida kimiawi buatan pabrik menjadi alternatip terakhir jika ambang batas ekonomi yang ditimbulkan oleh hama telah terlampaui.

Pestisida botanis/alami

Menurut Kabalitbang Pertanian Dr.Faisal Kasryno dalam pengarahan tertulisnya yang dibacakan Kasputlibangtri Dr. Ir. Darwis SN pada pembukaan Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Botanis, Rabu 1 Desember 1993 di aula Balittro Bogor, dikatakan kebutuhan pestisida kimiawi saat ini yang digunakan mencapai sekitar 20.000 ton dengan nilai sekitar Rp 200 -300 Milyar per tahun (Kompas 2 Des 93).
Dari data tersebut, terlihat betapa besar biaya yang harus dibayarkan untuk penggunaan pestisida kimiawi. Maka pilihan penggunaan pestisida alami dalam pengendalian hama dapat menghemat devisa negara sampai bernilai milyaran rupiah. Selain menghemat devisa negara, penggunaan pestisida alami juga memberikan manfaat lainnya seperti ikut menjaga kelestarian lingkungan , tumbuhnya industri hasil pedesaan yang membuat pestisida alami maupun terjaminnya harga dari komoditi yang dipakai untuk pestisida alami.

Adapun beberapa tumbuhan yang dapat berfungsi sebagi pestisida alami antara lain dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :

No Nama tanaman Cara pembuatan Hama yang dikendalikan
1 Srikaya Biji ditumbuk, dibuat tepung lalu dicampur air. Aphis, semut serangga lain
2 Bunga Mentega Daun dan kulit kayu direndam dalam air kira-kira 30 menit , saring Semut, lalat,serangga lain
3 Crysanthenun Bunga kering digiling, campur dengan lempung halus dan air Bebrbagai jenis serangga
4 Jenu, tuba Akar dan kulit kayu ditumbuk beri air lalu ambil ekstraknya (6 sendok makan ekstrak untuk 3 liter air) Berbagai jenis serangga
5 Gamal/glerecide Daun dan batang ditumbuk, beri sedikit air lalu diambil ekstraknya. Daun segar dan batangnya dapat mengusir serangga Berbagai jenis serangga
6 Tembakau Rendam batang dan tulang daun dalam air 3 hari atau didihkan sebentar. Biarkan dingin, lalu saring Berbagai jenis serangga
7 Tomat Didihkan batang dan daun biarkan sampai dingin lalu saring. Ulat dan lalat hijau
8 Rumput Mala Tangkai dikeringkan, bakar dekat tanaman Mengusir serangga
9 Tembelekan Daun dan cabang dikeringkan, dibakar, abunya dicampur air Berbagai jenis kumbang dan penggerek daun.
10 Dringo Akar dibuat tepung lalu dicampur air Berbagai jenis serangga
11 Sudu, Sesudu Getahnya Berbagai jenis serangga
12 Cabe merah Dikeringkan, digiling menjadi tepung Berbagai jenis serangga
14 Bawang-bawangan Berbagai jenis bawang dimasak menjadi satu (daun, akar,batang) sehingga menjadi bubur kemudian dicampur air ( bila detergen atau bubur telah mengalami fermentasi justru lebih baik) Berbagai jenis serangga
15 Kembang kenikir Daunnya (2 genggam) dicampur 3 bawang putih, 2 cabai kecil, 2-3 bawang bombay, dimasak dengan air, dinginkan. Tambahkan 4-5 bagian air, aduk kemudian saring Berbagai jenis serangga
16 Bawang putih Ditambah bawang bombay, cabe digiling dengan sedikti air, didiamkan 1 kam, beri 2 sendok makan detergen, aduk kemudian ditutup. Simpan ditempat dingin selama 1 minggu. Berbagai jenis serangga
17 Gamonila Bunga kering diseduh air panas, dinginkan lalu saring. Penyakit damping off/rebah semai
18 Kucai Seduh dengan air panas, dinginkan lalu saring Cegah powdery mildew pada borries, donny mildew pada mentimun
19 Kunir Akar ditumbuk, dicampur urin sapi. Campuran dihancurkan dengan air dengan perbandingan 1 : 2-6 Berbgai jenis serangga dan ulat
20 Neem, Imba, Nimba Biji 2 genggam ditumbuk, campur dengan 1 lt air, aduk. Biarkan semalam lalu saring

Daun segar ditumbuk kemudian direndam air semalam. Esoknya disaring Berbagai jenis serangga



Berbagai jenis serangga
(Sumber tabel : Lembaran ‘Contoh-contoh Pestisida organik’ dari Yayasan Bina Sarana Bhakti (BSB) Cisarua Bogor.

Dengan memanfaatkan pestisida alami, para petani dapat menyediakan pestisida sendiri dengan jalan membudidayakan tumbuhan yang berfungsi sebagai pestisida.
Tingkat kemandirian petani akan semakin lebih tinggi, biaya untuk pengendalian hama dapat ditekan, mudah didapat, dan kemungkinan adanya residu pestisida pada bahan makanan hasil pertanian dapat ditekan serendah-rendahnya atau lebih idealnya dapat dihilangkan.

Jadi mengapa kita sebagai petani meragukan pengendalian hama secara alami ? Atau kita lebih takut dengan cap kolot, tradisional, kurang modern/ kampungan ?
Bukankah kita harus bangga karena sebenarnya kita meneruskan tradisi luhur nenek moyang kita yang arif dan bijaksana dalam mengelola lingkungan termasuk didalamnya lahan pertanian yang mewariskan keberhasilan dalam memproduksi bahan makanan hasil pertanian tanpa tergantung pupuk buatan maupun pestisida kimiawi dan hanya mengandalkan pada pengendalian hama secara alami ?
Yang perlu menjadi perhatian atau pekerjaan rumah (PR) bagi kita adalah mengkaji secara ilmiah, teruji, sahih, pengendalian secara alami yang telah dilakukan oleh nenek moyang kita sehingga dapat bermanfaat bagi para petani terutama para petani yang lemah, kecil dan tak mampu menyediakan uang untuk biaya beli ‘racun’ yang tiap tahun harganya tidak semakin menurun tetapi justru sebaliknya. Inilah tantangan bagi para pakar hama untuk meneliti penggunaan pestisida alami sehingga para petani yang kecil
dan lemahdapat berharap memperoleh informasi cara menyediakan pestisida alami yang murah, mudah dan jitu tetapi tetap bersandar pada asas pelestarian lingkungan.

Mudah-mudahan para petani kita tidak merasa turun gengsinya atau merasa kampungan jika memilih pengendalian hama secara alami sebagai pilihan yang dirasa paling tepat dalam mengelola usaha taninya. Semoga !

YBT Suryo Kusumo
Pendamping petani kecil/
Pekerja LSM di Timor Timur

Pupuk organik, tak kalah gengsi maupun manfaatnya !

Dialam peradaban modern, para petani maju erlomba-lomba tampil bedasupaya tidak kelihatan ketinggalan jaman, termasuk dalam memanfaatkan teknologi pertanian seperti pupuk buatan, pestisida buatan dll. Teknologi pertanian modern menjadi pilihan utama, termasuk keyakina yang kadang-kadang menjadi berlebihan akan manfaat pupuk buatan maupun pestisida kimiawi (pabrik). Akibatnya secara tidak disadari para petani maju semakin tinggi ketergantungannya pada pupuk buatan dengan dosis penggunaan yang semakin tinggi pula.

Penggunaan pupuk buatan secara nasional selama 25 tahun terakhir meningkat lebih dari 16 % per tahun dan sebagian besar pupuk tersebut diserap sektor pertanian tanaman pangan sebesar 72 % dan palawija 13 % (Kompas, 22 Mei 1991, dalam artikel ‘Pupuk organik kembali naik daun’).

Sementara subsidi harga pupuk dari pemerintah semakin dikurangi seiring dengan naiknya harga pupuk buatan dari tahun ke tahun, menjadikan perhatian pemerintah maupun para petani pemakai akan efisiensi penggunaan pupuk buatan sebagai prioritas dengan diperkenalkannya urea tablet.

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa kelebihan dalam penggunaan pupuk organik yaitu :
memperbaiki struktur tanah menjadi lebih genbur
menambah kandungan hara tamabahan (mikro)
makanan mikrobia yang dapat menyehatkan tanah
meningkatkan kemampuan tanah menjerap/mengikat lengas (air) tanah
meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk buatan (an organik)
mudah didapat, murah
lebih berwawasan lingkungan dan membantu mengurangi polusi dan meningkatkan sanitasi lingkungan

Keyakinan dalam penerapan
Keyakinan akan ‘nilai tambah’ pupuk organik telah lama dibuktikan oleh Yayasan “Bina Sarana Bhakti’ 1996 dibawah pimpinan Pastor Agatho yang mencoba merintis penerapan pertanian organik/lestari/alami. Demikian pula LSM-LSM di belahan timur yakni Timor Timur seperti Yayasan Wiraswasta Tani dengan Pusat Pelatihan Wiraswasta Tani (PUSLAWITA) maupun P3M Raimate (Pusat Pelayanan dan Pengembangan Masyarakat) Yayasan ETADEP ( Ema Mata Dalan Ba Progresso) telah mencoba untuk konsisten hanya memakai pupuk organik dan menekan atau jika memungkinkan tidak memakai sama sekali pupuk buatan.
Hal ini didasari pemikiran dan tujuan jangka panjang untuk memerdekakan petani dari ketergantungan industri pupuik buatan, menekan penggunaan BBM (Bahan Bakar Minyak) dalam pembuatan pupuk, pendistribusian dan yang lebih penting dengan penggunaan pupuk organik mampu menciptakan daur ulang pemanfaatn limbah baik berupa humus, kotoran ternak maupun manusia, serta mampu menggabungkan pertanian dan peternakan (pola wana tani/agroforestry). Dalam usaha peningkatan pendapatan petani dan pelestarian daya dukung lahan.

Jadi perlu dipahami dan dimengerti dengan hati bening dan pikiran jernih tanpa apriori bahwa penggunaan pupuk organik bukan berarti tidak mau mengikuti anjuran ‘pemerintah’, namun justru membantu pemerintah mengurangi pengeluaran devisa negara untuk subsidi pupuk buatan dan BBM dsb. Dan berdasar berbagai penelitian, pupuk organik mempunyai beberapa kelebihan dibanding pupuk buatan .
Pemakaian pupuk buatan terutama unsur hara Nitrogen (N) , Posphor (P), Kalium (K) mempunyai keterbatasan dalam tingkat efisiensi penyerapannya. Pupuk Nitrogen (N) tingkat efisiensi penyerapannya hanya 56 – 60 % karena sebagian terlindi (tercuci), terdenitrifikasi, dan menguaop,sehingga pemerintah menggalakkan pemakaian pupuk urea tablet untuk meningkatkan efisiensi penggunaannya. Efisiensi penyerapan pupuk Phospor (P) hanya sekitar 20 % dan sisanya dalam bentuk tidak tersedia, sedangkan pupuk Kalium (K) berkisar antara 50 – 75 % dan suisanya hilang karena pelindian aliran permukaan (run off) serta tersemat pada kisi lempung . Ternyata penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ketiga pupuk tersebut yang merupakan unsur utama yang dibutuhkan tanaman. Dan berdasar penelitian, dari ketiga jenis pupuk organik yakn I pupuk kandang, jerami, pupuk hijau, ternyata pupuk hijau memberikan hasil yang lebih baik dalam meningkatkan efisiensi penyerapan Phospor (P).

Penyadaran
Dalam menggalakkan kembali penggunaan pupuk organik memang tidak gampang, terutama bagi petani yang sudah terbiasa dengan pupuk buatan yang memang lebih mudah mendapatkan, lebih sedikit pemakaiannya, praktis, tidak kotor serta kelihatan lebih bergengsi. Karena sering ada image/citra bahwa memakai pupuk organik seolah identik dengan cap ‘tradisional, kolot’ dan kurang bergengsi. Padahal jika kita kaji lebih mendalam, penggunaan pupuk organik justru lebih bergengsi karena terutama kita ikut bertanggung jawab dalam gerakan pelestarian lingkungan sehingga daya dukung lahan tetap tinggi, berpartisipasi dalam mengurangi polusi karena semua limbah yang dapat terombak dikembalikan ke lahan sebagai pupuk serta membantu pemerintah menghemat pengeluaran devisa atas subsidi pupuk buatan, BBM untuk pembuatan dan distribusi dll.
Maka menjadi tugas kita bersama untuk melakukan penyadaran dalam gerakan ‘kembali ke alam’ dan lebih berwawasan lingkungan sehingga bumi benar-benar menjadi andalan mendukung kehidupan manusia,khususnya dalam penyediaan bahan pangan dan pasokan bahan mentah untuk berbagai jenis industri. Berbagai gerakan kampanye penyadaran akan pentingnya ‘pemanfaatan kembali’ pupuk organik perlu diupayakan sehingga kita tidak terjebak dalam pendewaan teknologi melainkan memanfaatkanteknologi untuk kepentingan manusia dan bukan sebaliknya. Semua pemakaian pupuk organik baik berupa kompos, pupuk kotoran hewan, pupuk hijau maupun humus semakin memasyarakat dan tak kalah gengsi maupun manfaatnya dibanding pupuk buatan.

Bulan Agustus (bulan pemerdekaan
Petani dari ketergantungan)

YBT Suryo Kusumo
Pendamping petani lemah & kecil di Timor Timur

Pola Wana Tani (Agroforestry), Alternatip Pengembangan Pertanian Lestari di Dataran Tinggi.

Lahan kering dataran tinggi (up land) merupakan lahan marginal yang belum banyak mendapat perhatian pemerintah, karena selama ini kebijakan pembangunan pertanian khususnya pangan lebih diutamakan penangannya pada lahan basah persawahan.
Isu swasembada pangan, khususnya penyediaan beras yang telah berhasil mengantar Bangsa Indonesia dari pengimpor beras menjadi pengekspor beras cukup memberi ‘nilai tambah’ didunia internasional.

Namun kita semua menyadari, pertumbuhan, perkembangan jumlah dan kepadatan penduduk memberikan ‘pekerjaan rumah’ yang tidak mudah bagi pemerintahan Orde Baru untuk terus selalu menyediakan bahan pangan dalam jumlah yang cukup dan aman, dengan harga jual yang tetap terjangkau masyarakat sehingga stabilitas dapat tetap terjaga. Ketergantungan konsumsi pangan masyarakat pada beras sangat membahayakan bagi kita semua, karena itu gerakan penganekaragaman dalam mengkonsumsi pangan, khususnya karbohidrat harus terus dilaksanakan pada semua aras masyarakat. Maka kekhususan suatu daerah dalam mengkonsumsi pangan harus dijaga dan dilestarikan seperti misal beberapa daerah yang mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok. Dengan demikian masyarakat tidak terjebak dalam persepsi yang menyatakan bahwa mengkonsumsi ‘nasi’ lebih bergengsi dibanding lainnya.

Pemenuhan pangan

Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan (tidak hanya ‘beras’) maka kita perlu menengok potensi lahan yang masih dibiarkan belum tergarap secara maksimal atau belum tersentuh kebijakan pemerintah.

Lahan marginal di dataran tinggi sebenarnya cukup mempunyai potensi jika ada kesungguhan dari pengambil kebijakan maupun petani pemilik lahan tersebut.
Ada beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan wanatani di lahan kering dataran tinggi antara lain :

1. Tingkat kesuburan tanah relatip rendah
2. Mudah tererosi
3. Ketersediaan air terbatas
4. Solum/jeluk tanah relatip tipis
5. Infrastruktur belum memadai
6. Keterbatasan pengetahuan teknis petani mengenai wanatani
7. Keterpaduan/ koordinasi antar instansi terkait masih belum berjalan dengan baik sehingga sering membingungkan petani yang menerapkan wanatani
8. Status lahan mengenai kepemilikan belum jelas.
9. Pemasaran hasil yang belum terjamin dan lain-lain.

Meskipun ada beberapa kendala, namun perhatian terhadap pemanfaatn lahan kering dataran tinggi yang merupakan lahan marginal perlu terus digalakkan karena cakupan wilayahnya relatip cukup luas.

Dalam rangka menindaklanjuti pemanfaatan lahan tersebut, pilihan pola wanatani (Agroforestry) sebagai alternatip pengembangan pertanian lestari di lahan kering dataran tinggi perlu mendapat perhatian, serta kesungguhan untuk dicoba penerapannya dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan kesejahteraan keluarganya.

Pola wana tani (Agroforestry)

Dalam Lokakarya Wana tani I di Bogor telah disepakati kata Wana tani sebagai padanan kata Agroforestry. Hal ini diperkuat lagi dalam Lokakarya Wana tani II di Ujung Pandang pada 16 – 18 Januari 1995.

Menurut Vagara, Wana tani didefinisikan sebagai :

Agroforestry adalah semua pola tata guna lahan yang berkesinambungan atau lestari, yang dapat mempertahankan dan meningkatkan hasil optimal panen keseluruhan dengan mengkombinasikan tanaman pangan, tahunan, dan tanaman pohon bernilai ekonomi, dengan atau tanpa ternak atau ikan piaraan, pada lahan dan waktu yang bersamaan atau waktu yang bergiliran dengan metoda pengelolaan yang praktis, yang sesuai dengan keadaan sosial dan budaya penduduk setempat, serta keadaan ekonomi dan ekologi daerah tersebut (dalam makalah ‘Pengembangan Sistem-sistem Wana tani di Kawasan Timur Indonesia, Dr. Sudarsono Riswan, 1995).

Dari pengertian Wana tani, menurut Dr. A. Ngaloken Ginting, pola Wana tani dapat dibagi menjadi :

1. Agrosilvopasture ; bentuk pemanfaatan lahan dengan mengkombinasikan tanaman pertanian, tanaman hutan/tahunan dan tanaman makanan ternak yang dikaitkan dengan pemeliharaan ternak.
2. Silvopasture; suatu bentuk pemanfaatan lahann dengan mengkombinasikan tanaman hutan dan peternakan.
3. Agrosilvofishery; suatu bentuk pemanfaatan lahan dengan mengkombinasikan tanaman pangan, tanaman hutan/tahunan dan perikanan.
4. Silvofishery atau hutan tambak; suatu bentuk pemanfaatn lahan dengn mengkombinasikan tanaman hutan dan perikanan.
Suatu contoh yang sudha banyak dilakukan di Indonesia adalah hutan tambak didaerah mangrove.
5. Pekarangan (Home garden); suatu sistem wana tani tradisional yang merupakan perpaduan yang harmonis antara tanaman tahunan dan tanaman pangan disekitar rumah masyarakat pedesaan pada umumnya.
6. Kebun campuran (mixed garden) ; suatu lahan yang ditanamani tanaman tahunan dan tanaman pangan. Setelah beberapa tahun kemudian, hanya sebagian kecil lahan yang dapat ditanami tanaman pangan karena pengaruh naungan tanaman tahunan.
7. Talun (mixed tree garden); suatu sistem wana tani tradisional dimana lahan sudah diberakan untuk beberapa tahun dan tanaman tahunan sudah dominan dll.


Penerapan wana tani

Sebenarnya pola Wana tani sudah banyak diterapkan dalam pengelolaan lahan kering di masyarakat,
Sebagai contoh di Kalimantan Barat disebut Tembawang, Lembo di Kalimantan Timur dan damar mata kucing di Lampung Barat.
Bahkan oleh Ir. A.P.Y Djogo dalam makalah berjudul ‘Sistem-sistem Wana tani Di Dataran tinggi/Lahan Kering’ membuat tabel Wana tani dari berbagai daerah sebagai berikut ;

Tabel . beberapa Model Wana tani Dari berbagai Daerah

No Model lama Daerah Konsep wana tani
1 Ladang berpindah Semua daerah Agrisilviculture
2 Sistem pemberaan dengan pohon dan semak Semua daerah Agrosilvopastoral
3 Tumpang sari Semua daerah Agrosilviculture
4 Pekarangan Semua daerah Agrosilviculture
5 Kopi dan Tephrosia candida Sulawesi Selatan, Flores Agrosilviculture
6 Eksploatasi tanaman hutan Kalimantan, Sumatera, Sulawesi Agrosilviculture
7 Bi-ubian dibawah pohon Sagu Irian Agrosilviculture
8 Hutan di atas daerah persawahan Sulawesi Agrosilviculture
9 Kebun campuran Hampir semua daerah Agrosilviculture
10 Turi di pematang sawah Bali, NTB, NTT Agrosilviculture
11 Kebun Talun Jawa Barat Agrosilviculture
12 Mamar Timor, Rote, Sabu Agrosilviculture
13 Kebun buah-buahan Bali, Jatim Agrosilviculture
14 Kebun kopi dengan dadap Semua daerah Agrosilviculture
15 Kebun kopi dengan Albizia (Paraserianthes) sebagai pohon pelindung Semua daerah Agrosilviculture
16 Integrasi kayu bangunan dalam kebun Semua daerah Agrosilviculture
17 Ongeng, Kopo Flores Agrosilviculture
18 Vanili dengan gamal Flores dan banyak daerah lain di Indonesia Agrosilviculture
19 Larikan lamtoro Flores, Timor, Sumba Agrosilviculture
20 Hutan lamtoro utnuk pakan Timor Silvopastoral
21 Larikan tanaman leguminosa lain Flores, Timor Agrosilviculture
22 Sistem tiga tingkat Bali Silvopastoral
23 Hutan keluarga Flores, Timor Agrosilviculture
24 Cemara dan Tanaman Pangan Timor Agrosilviculture
25 Pengelolaan hutan dengan tanaman pertanian NTB,Kalimantan, Irian Agrosilviculture
Maka dalam tangka pengembangan pertanian lestari di lahan kering dataran tinggi yang cenderung berlereng/ miring, penerapan pola Wana tani dapat dijadikan alternatip bagi para kelompok tani lestari di lahan marginal .

Yang perlu diperhatikan dalam penerapan wana tani antara lain :

- Kemampuan petani akan pemahaman pola wana tani
- Kemmapuan teknis dalam pemilihan tanam,an yang akan dipadukan sehingga saling menguntungkan.
- Harus mendasarkan pada prinsip pengawetan tanah dan air.
- Memperhatikan faktor sosial budaya ekonomi (menyangkut pemasaran hasil).
- Mempertimbangkan ekosistem setempat serta potensi lokal yang ada (vegetasi, tanah, iklim dll)
- Mudah diterapkan dnegan biaya murah

Dengan semakin disadari arti strategis pemanfaatan lahan marginal dengan pendekatan pengembangan pola Wana tani, diharapkan mampu menyediakan kebutuhan pangan meski dibarengi prtambahan jumlah penduduk.
Dan yang lebih penting pemanfaatan lahan marginal dapat optimal, tetap terjaga kesuburan lahannya serta berwawasan lingkungan dan lestari. Semoga !


YBT Suryo Kusumo
Pendamping petani di Tim-tim

SMART + SKILL + SIKAP + SPIRIT = SUKSES (PETANI)

Berbagai hal yang telah dilakukan dalam rangka mengentaskan kemiskinan di kalangan Pemerintah, Akademisi, Pengusaha, penggiat NGO dll, termasuk salah satunya adalah bagaimana mendorong petani mampu mengakses pasar.

Kita telah mengetahui, sejak kecil paradigma petani kita kebanyakan dibentuk dalam pola subsisten dimana kebanyakan menganggap bertani adalah panggilan hidup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, baru kemudian sisanya dijual; atau bisa pula karena keterpaksaan akibat tiada pilihan profesi lainnya. Petani kebanyakan melakukan budidaya berdasar pada ‘kebiasan turun temurun’ yang diwarisi dari orangtuanya baik dalam hal pilihan jenis komoditi yang ditanam, pilihan teknologi dll. Kebanyakan petani menjalankan usaha tani hanya berdasar naluri alamiah , dan kebanyakan masih belum berperilaku sebagai seorang wirausaha/enterpreneur.

Boleh dicoba dalam pertemuan petani, jika ditanya apakah ada yang berprofesi sebagai pengusaha, pasti jawabnya hampir sebagian besar mengatakan disini tidak ada pengusaha. Tidak mudah mengajak petani merubah paradigma dari pola’tanam dulu, baru kemudian jual’ ke arah ‘ apa saja yang dibutuhkan pasar, baru tanam sesuai permintaan pasar’ atau dengan kata lain menjadi petani pengusaha yang berorientasi pasar.


SMART (Cerdas)
Sudah berulangkali disampaikan dalam berbagai seminar motivasi maupun leadership bahwa salah satu syarat untuk sukses, selain bekerja KERAS, juga harus bekerja SMART.

Bekerja SMART berarti harus berani ‘beda’ dengan yang dilakukan sebelumnya, harus berani ‘beda’ dengan yang lainnya, atau dalam bahasa lainnya punya ‘nilai tambah’, ‘nilai lebih dalam persaingan’, unik dll.

Demikian pula apabila kita ingin mengajak petani keluar dari permasalahan ‘ketakberdayaan’ yang membuat terjebak dalam kehidupan yang serba berkekurangan, maka pilihan strategi harus ‘beda’ dengan sebelumnya, karena tidak mungkin kita mengharapkan hasil yang sangat berbeda, namun tetap menggunakan strategi yang sama terus menerus. Kita harus berani mengidentifikasi strategi lama apa saja yang sudah ‘out of date’ yang harus segera digantikan dengan strategi’baru dan beda’ yang mampu merubah kehidupan petani.

Mari kita coba identifikasi strategi lama antara lain :
1. Tanam dulu, baru kemudian jual
Kebiasaan petani menanam dulu tanpa melakukan penjajagan kebutuhan pasar secara cepat (Rapid Market Appraisal/RMA), membuat posisi petani selalu lemah, baik dalam penentuan harga maupun kemampuan memenuhi pasokan sesuai komoditi yang dihasilkan. Seringkali petani mendapatkan harga yang tidak layak karena masalah waktu jual yang tidak tepat karena sedang ‘banjir pasokan/ panen bersamaan komoditi yang sama’, atau karena ternyata kebutuhan pasar hanya sedikit, sedangkan produksi melimpah, baik ditingkat lokal, nasional maupun internasional.Ketidaktahuan dan ketidakmampuan petani dalam mengenal ‘karakteristik pasar yang terus berubah-ubah ’ membuat petani menjadi korban dari ‘mafia pasar’ yang seringkali mengelabuhi petani dengan berbagai macam trik.

2. Yang penting kuantitas, bukan kualitas.
Sebagian petani masih berpikir tentang kuantitas, bukan kualitas, sehingga kurang menjaga kualitas sesuai permintaan pasar. Cara pandang petani yang mendasarkan pada persepsinya, bukannya persepsi konsumen, seringkali merugikan petani karena ketika memproduksi komoditi dalam jumlah banyak tapi tak disukai konsumen atau harganya yang rendah , jelas akan menurunkan tingkat pendapatan petani secara langsung

3. Memproduksi hanya berupa komoditi primer/ bahan mentah
Petani kita sangat tertinggal dalam memanfaatan teknologi tepat guna (TTG), terutama untuk penanganan pasca panen dan pengolahan lanjut. Hal ini dapat terlihat dari sedikitnya penyebaran TTG hasil dari litbang maupun LPM (Lembaga Pengabdian Masyarakat) Universitas didesa-desa. Padahal kita semua tahu dengan menjual komoditi primer/ bahan mentah maka harga yang diperoleh akan sangat rendah, tidak akan memperoleh nilai tambah dan komoditi akan mudah rusak alias tidak tahan lama.

4. Memproduksi dalam skala kecil
Sebagian besar petani kita mempunyai luas areal lahan yang sangat terbatas alias sempit, yang berakibat biaya produksi per satuan unit menjadi lebih tinggi dan sulit untuk memproduksi secara efisien. Hal ini berakibat ketika dihadapkan pada kompetitor lain yang mampu memproduksi dengan harga jual lebih rendah, maka petani kita akan kalah bersaing.

5. Menggunakan lebih banyak input luar (revolusi hijau)
Sejak Orde Baru berkuasa, maka pembangunan pertanian diarahkan menggunakan input luar tinggi berupa bibit hibrida, pupuk dan pestisida pabrik yang kita kenal dengan Revolusi Hijau yang digarapkan mampu menggenjot produksi untuk memenuhi ambisi swasembada pangan/beras. Petani mulai kehilangan kedaulatan atas lahannya dan bahkan penentuan jenis tanaman apa yang ditanam terutama padi telah ditentukan melalui prpgram BIMAS, INMAS, INSUS, SUPRA INSUS. Ketergantungan petani terhadap pihak luar dalam penyediaan baik modal maupun saprodi menjadi tinggi dan sayangnya nilai tukar harga produk pertanian berupa beras ditentukan oleh pemerintah dengan harga murah karena menganut politik beras murah. Jadi kalau mau jujur petani dikorbankan atas nama pembangunan.


6. Belum /kurang cerdas dalam pengelolaan keuangan/ finansial
Meskipun pertanian sebagai sebuah usaha , namun sebagian besar peyani sebelum menentukan jenis usaha yang akan dikelolanya tidak mendasarkan pada hasil analisis usaha untuk memperoleh keuntungan yang uptimal. Demikian pula dalam manajemen keuangan, tidak dicatat secara baik tentang pengeluaran/biaya dan pemasukan/pendapatan. Bahkan keuangannya tercampur dengan keuangan rumah tangga sehingga semakin menyulitkan dalam menetapkan profit yang didapat . Akibatnya meskipun secara perhitungan diatas kertas usahanya merugi namun kebanyakan para petani tidak menyadarinya. Petani belum membuat business plan/ rencana usahan pertanianya berupa rencana/ denah / sketsa kebun/lahan dalam pengelolaannya.

7. Menjual secara individual dengan alasan karena :
a. Petani meminjam benih dari tengkulak setiap musim tanam, walaupun dengan pengembalian yang cukup besar yaitu misal 1 karung kacang tanah kembali 2 karung. Sebagian besar petani merasa tidak enak dan terpaksa kalau harus menjual ke pengusaha lain, karena sudah diberi pinjaman benih dan biaya panen.
b. Petani tidak cukup uang untuk biaya panen, sehingga lagi-lagi masih harus meminjam pada tengkulak.
c. Petani tidak bisa menahan produknya karena harus segera dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga terutama untuk kebutuhan makan sehari-hari.
d. Petani menjual secara sendiri-sendiri, dimana harga berbeda antara petani yang satu dengan yang lainnya dan terkadang petani langsung menjual sebelum sampai waktu panen (sistem ijon) sehingga harga dipermainkan oleh pengusaha.
e. Kekhawatiran selalu ada di benak petani, kalau terlambat jual barang rusak dan tidak ada yang beli sehingga begitu panen langsung dijual dilahan (pengusaha/tengkulak membawa truk ke lahan)

8. Tidak berperilaku sebagai inverstor - bantuan pemerintah yang sia sia
Sebagian petani masih asing dengan istilah investasi/tanam modal. Padahal nilai-nilai luhur yang ditanamkan sejak dulu merupakan perwujugan investasi seperti membawa anakan berupa cabutan dari hutan untuk ditanam didekat rumah atau lahan seperti tanaman asam dll. Demikian pula dalam pengelolaan benih secara swadaya dimana petani memisahkan hasil untuk dimakan dan untuk ditanam kembali sebagai benih. Namun dengan banyaknya bantuan baik benih maupun bibit, maka kebiasaan lama tersebut berangsur angsur punah, bahkan banyak petani yang menggantungkan bantuan benih dari pemerintah/LSM dll. Masih jarang ada petani yang sangat menyesal ketika bibit TUP (Tanaman Umur Panjang) yang diberi pihak lain tidak tumbuh alias mati karena berbagai sebab. Mereka akan meminta lagi dan bisa berulang-ulang, padahal kalau dilihat dari sisi investasi berapa banyak kerugian baik berupa tenaga waktu dan uang (meski bibitnya gratis). Demikian pula ketika Pemerintah mencanangkan “Gerakan Penaman Sejuta Pohon” yang terjadi adalah “menaman saja” bukannya menumbuhkan yang didalamnya termasuk kegiatan memelihara dan memastikan bahwa tanaman yang ditanam hidup dan bermanfaat.

9. Tingginya biaya pengeluaran rumah tangga petani untuk memenuhi adat-istiadat/sosial.

Seberapa besarpon tambahan pendapatan yang diperoleh petani, tetapi kalau masih “besar pasak daripada tiang” tetap saja kehidupan rumah tangga petani akan tetap terpuruk karena masih terjebak dalam “berpikir defisit ” bukannya “ berpikir asset/ kekayaan”. Maka sangat wajar kalau begitu banyak bantuan baik berupa hibah maupun kredit dari berbagai pihak untuk petani terus menguap begitu saja karena banyak yang salah dalam peruntukannya, termasuk mendanai kebutuhan konsumtip seperti budaya pesta atas nama adat dll. Nilai-nilai Adat/.budaya yang luhur harus terus dipertahankan tanpa harus mengorbankan ekonomi petani.

Jadi untuk membantu petani menuju kemandirian, kita perlu mengajak petani merubah strategi diatas dengan strategi baru yakni :

1. Memproduksi berdasar permintaan pasar

2. Menjaga kualitas dan sesuai dengan persepsi pasar

3. Melakukan perbaikan pasca panen dan pengolahan lanjut, dengan memanfaatkan TTG yang ada di berbagai institusi litbang., perguruan tinggi dll.

4. Memproduksi dalam skala besar melalui kebersamaan dalam perencanaan produksi.

5. Memperbanyak penggunaan input lokal

6. Meningkatkan kecerdasan keuangan/finansial

7. Menjual secara bersama (Collective marketing)

8. Bersikap sebagai seorang investor dibidang pertanian (dalam arti luas)

9. Melakukan penghematan melalui kesepakatan budaya bersama untuk menekan biaya kegiatan adat-istiadat/ sosial

Berpikir dan bertindak SMART selain merubah strategi lama, juga perlu melihat kendala yang ada diluar diri para petani yang mempengaruhi hidupnya seperti:

a. Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung pembangunan pertanian ( impor beras, tiadanya asuransi untuk petani karena bencana alam, tersendatnya pelaksanaan regorma agraria/ land reform, minimnya alokasi dana APBD untuk perbaikan infrastuktur pedesaan seperti pengerasan (aspal atau semen) jalan desa menuju kota, sarana transportasi; irigasi/ embung, dam; tersedianya listrik pedesaan , telekomunikasi, pelabuhan dll.

b. Globalisasi dengan berbagai perangkat aturan yang mengatur perdagangan dunia yang lebih banyak menguntungkan petani negara maju dll.



SKILL

Sampai saat ini sebagian besar program pengembangan pertanian masih berkutat di seputaran hulu (produksi) yang terbukti dengan banyaknya layanan fasilitasi terkait hal-hal teknis produksi seperti konservasi lahan, cara/teknis budidaya, pemupukan dll.

Belum banyak program pengembangan pertanian yang mengkaitkan hulu-hilir (pasar).
Dalam peradaban yang berubah begitu cepat, mau tak mau memaksa petani untuk harus secara cepat pula dalam merespon perubahan yang terjadi. Kecepatan dalam mengakses informasi menjadi hal yang sangat strategis dalam menyikapi perubahan yang cepat.

Petani selain dituntut mempunyai skill/ketrampilan dalam hal teknis budidaya, juga perlu memiliki beragam ketrampilan yang mendukung dalam mengakses pasar seperti :

1. Kemampuan mengakses informasi dengan memanfaatkan teknologi informasi (layanan SMS, website, email dsb)

2. Melakukan penjajagan pasar secara cepat,

3. Melakukan analisis usaha untuk memilih usaha yang paling menguntungkan

4. Membuat perencanaan produksi secara bersama dalam suatu hamparan untuk
mencapai skala permintaan pasar.

5. Melakukan kontrol kualitas komoditi/produk secara tersistem

6. Melakukan negosiasi dengan para buyer/pembeli

7. Mengakses teknologi yang membantu petani dalam mengelola komoditi baik saat pasca panen maupun pengolahan/prossesing lanjut.

8. Mampu mengorganisir diri dalam produksi maupun dalam memasarkan secara bersama melalui wadah asosiasi petani

SPIRIT

Spirit atau jiwa wirausaha/entrepreurship sebagian petani kita masih perlu ditingkatkan, karena memang pada awalnya sebagian besar belum dikenalkan dengan konsep wirausaha. Petani belum dibiasakan ‘bergaul ‘ dengan pola pikir dan cara bertindak para pembisnis yang sukses seperti pengusaha Bob Sadino, yang mampu mengkaitkan hulu-hilir dalam memasarkan hasil komoditinya dengan mendirikan Kemp chick, atau para pekebun swasta pemasok swalayan dan ekspor dll . Sebagian petani kita masih melihat usaha tani sekedar meneruskan usaha orang tuanya atau hanya sekedar menyambung hidup selagi tidak ada pilihan lain untuk memperoleh pendapatan.

Spirit ‘hidup hemat dengan jalan menabung atau berinvestasi ’ untuk meningkatkan aset/kekayaan keluarga petani yang dikelola , baik dalam bentuk Kopdit, UBSP dll, yang kemudian dimanfaatkan untuk diinvestasikan lagi misal dalam bentuk membeli lahan, benih, bibit ataupun dalam bentuk membeli ternak


Spirit solidaritas hidup dalam kebersamaan dalam berbagai bentuk seperti dalam wadah Asosiasi Petani yang mampu merubah ataupun mengurangi ketergantungan para petani pada pihak luar, baik berupa kebijakan yang tidak memihak petani seperti akses yang sulit terhadap pinjaman modal usaha, ketersediaan informasi harga, informasi teknologi dll, sehingga lebih mudah bagi para petani untuk menuju kemandirian.

Kita tahu kekuatan dari sebuah solidaritas seperti yang ditunjukkan solidaritas buruh di Polandia yang akhirnya mampu menjungkirbalikkan penguasa yang menindas, kita juga tahu bahwasannya solidaritas mampu merubah wajah dunia sehingga mampu menghapuskan tindakan yang tidak adil seperti perbudakan, diskriminasi warna kulit dll.

Kita harus bisa membuktikan bahwa solidaritas para petani kalau sungguh-sungguh lahir dari lubuk hati para petani akan menjadi kekuatan yang luar bisa dalam merubah berbagai kebijakan yang tidak menguntungkan petani termasuk didalamnya harga yang tidak layak

Pertanyaannya, dimulai dari mana ?

Dari yang ada
Dari diri sendiri
Dari sekarang )kata A’a gym

Salam sukses selalu


Tony Suryo Kusumo
Pengembang masyarakat pedesaan

Email : tony.suryokusumo@gmail.com


www.adikarsagreennet.blogspot.com