Menarik apa yang diungkapkan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) dalam pengantar pelantikan Menhut yang baru yakni Marzuki Usman yang menggantikan Nur Mahmudi Ismail di istana Negara, Jakarta sabtu (17/3/2001) pagi. Beliau mengatakan, karena kelalaian melestarikan hutan, wilayah propinsi NTT dan NTB sekarang gundul menjadi padang rumput atau sabana. Padahal dulu dalam literatur lama, kedua daerah tersebut adalah daerah hutan yang sangat besar. Presiden menyebut daerah NTT dan NTB yang kini menjadi gundul itu sebagai contoh kelalaian bangsa Indonesia melestarikan hutan. Karena itu pesan Presiden Gus Dur kepada Menhut yang baru agar menyelamatkan dan melestarikan hutan Indonesia agar tetap menajdi kekayaan alam yang berguna bagi perekonomian nasional dan sebagai paru-paru dunia. “Hutan adalah kekayaan alam, jadi harus dikelola sebaik-baiknya sebagai bagian dari kekayaan nasional” kata Gus Dur. Pernyataan tersebut seharusnya membuat kita sebagai warga NTT merasa malu hati dan berintrospeksi untuk segera berbenah diri untuk menyadari arti strategis sebuah hutan bagi kelangsungan hidup seluruh warga yang mendiami NTT. Dan bagi Dinas Kehutanan di NTT, pernyataan Presiden seharusnya dijadikan PR (pekerjaan untuk rakyat) yang harus diprioritaskan dan dijamin keberhasilannya. Dinas Kehutanan sudah seharusnya mengkaji kembali kegagalannya dalam menghutankan NTT, karena sudah begitu besar dana yang dihabiskan untuk menghutankan kembali namun menjadi mubasir dan sia-sia serta pemborosan yang luar biasa ketika kita masih dapat melihat dengan kasat mata banyaknya lahan kritis dan gundul diseputar kehidupan kita di NTT.
Masa keemasan cendana
Kalau kita tengok kembali kebelakang, kedatangan penjajah baik Belanda maupun Portugis, maka motivasi utama dari kedatangan mereka adalah mengambil kekayaan alam yang dihasilkan oleh bumi Nusantara, tidak terkecuali NTT. Salah satu hasil kekayaan alam yang sangat terkenal di NTT adalah kayu cendana. Begitu terkenalnya kayu cendana karena wangi bau dan harganya, sehingga menjadi nama sebuah universitas negeri di Kupang dan juga dipilih menjadi nama jalan rumah kediaman penguasa Orde baru sehingga keluarga mereka terkenal dengan sebutan ‘Keluarga Cendana’ yang sangat kontras kehidupan dan perilakunya dengan “keluarga Cemara” di sinetron RCTI. Pada masa Orde Baru, pohon cendana sangat diatur tata niaganya, bahkan cenderung dimonopoli oleh pemerintah karena memberi andil yang besar bagi pendapatan baik pemerintah maupun oknum yang mengatur tata niaganya. Akibat dari ketatnya pengaturan cendana, maka rakyat menjadi sangat marah meski diam dan melakukan pembangkangan pasip dengan tidak lagi mau menanam dan memelihara cendana sehingga berakibat populasi cendana semakin sedikit jumlahnya , kalau tidak mau dikatakan punah. Baru akhir-akhir ini ada usaha dari pemerintah untuk menanam kembali cendana, termasuk yang dilakukan Dinas Kehutanan TK II Kupang, namun meskipun dibagikan secara gratis, respon masyarakat untuk menanam di pekarangan rumahnya sebagai penghijauan masih relatip rendah.
Mata air berubah jadi air mata
Keberadaan kawasan hutan di NTT menjadi startegis, ketika kita membicarakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat. Otonomi daerah akan berhasil apabila mengandaikan pemda dan masyarakat mau dan mampu mengelola SDA, SDM yang ada mampu memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi , birokrasi yang profesional bebas KKN, adanya akuntabilitas kinerja pemda dan kontrol maupun akses dimiliki oleh rakyat terhadap eksekutip, legislatip dan yudikatip. Maka profesionalitas dinas kehutanan dan seluruh potensi yang ada di masyarakat (intelektual, agamawan, LSM, swasta dll) sangat diharapkan dalam mengelola hutan yang ada serta menumbuhkan kembali hutan yang terlanjur menjadi padang alang-alang/ sabana. Keberlanjutan generasi mendatang dan keberlanjutan pembangunandi NTT juga sangat ditentukan oleh kemampuan kita untuk mengelola hutan sebagai aset ekonomi yang diharapkan mampu memberi kontribusi bagi kemakmuran NTT.
Salah satu fungsi yang sangat penting dari sebuah keberadaan kawasan hutan adalah kemampuannya menjaga daur hidrologis sehingga dapat membantu ketersediaan air di musim kemarau melalui mata air yang muncul akibat tersimpannya air oleh keberadaan kawasan hutan beserta tegakan pohonpohonnya maupun kemampuannya menghindarkan terjadinya banjir ketika musim hujan berlangsung. Air yang merupakan sumber kehidupan bagi mahluk hidup termasuk didalamnya masyarakat NTT, keberadaan dan ketersediaannya tidak dapat tergantikan dan mutlak harus terpenuhi. Bahkan syarat mutlak tingkat kualitas kehidupan masyarakat salah satunya adalah ketersediaan air yang memenuhi kualitas layak minum dalam jumlah yang cukup tersedia. Tingkat kesehatan masyarakatpun sangat tergantung dari ketersediaan air yang cukup baik jumlah maupun kualitasnya untuk keperluan mandi, masak, minum, mencuci dan WC, bahkan untuk ternak yang kita pelihara. Sebaik dan semewah apapun sarana dalam rumah kita, apabila tanpa ketersediaan air yang cukup maka akan mengurangi kenikmatan kita sebagai penghuni. Maka keberadaan hutan dalam menyangga sebuah kawasan pemukiman sebagai penyedia air sungguh perlu diperhatikan. Jangan sampai kelengahan kita melestarikan hutan menjadi malapetaka yang menyebabkan mata air berubah menjadi air mata mengalir dan kita cenderung melihat itu semua sebagai bencana yang berasal dari ‘Sang Pencipta’.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat
Bagaimana kita sebagai warga NTT menyikapi kelalaian yang menyebabkan lahan gundul dan menjadi padang rumput atau sabana ? Apakah masalahnya menjadi selesai jika kita saling menyalahkan atau ketika kita hanya menyalahkan dinas yang terkait dengan pengelolaan hutan ? Memang kita harus menuntut kinerja yang paling maksimal dengan biaya serendah-rendahnya dari dinas kehutanan dalam mengelola hutan, dan perlu membuat kesepakatan bersama mengenai indikator keberhasilan pengelolaan hutan yang harus disosialisasikan dan diketahui oleh masyarakat. Sudah saatnya kita sebagai masyarakat juga ikut mengontrol pelaksanaan pengubahan lahan gundul dan padang rumput menjadi hutan, sehingga laju pemborosan uang negara tidak terulang. Pengelolaan hutan sebaiknya melibatkan secara penuh masyarakat terutama yang terkait langsung dengan keberadaan sebuah kawasan hutan. Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR) yang mengelola hutan perlu ditumbuhkan dan dikembangkan dimana masyarakat disiapkan terlebih dahulu dengan pelatihan teknis, maupun manajemen pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat disekitar hutan untuk menjadi pengelola yang baik menjadi prioritas apabila kita ingin melihat kembali tumbuhnya hutan dan keberlanjutannya di NTT. Dasar pertimbangan logisnya adalah masyarakat sekitar hutan tidak akan dengan bodohnya merusak hutan yang menghidupi diri dan keluarganya. Dengan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat ditambah dengan peningkatan ketrampilan teknis dan manajerialnya, maka diharapkan perusakan hutan oleh pengelola HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang dipicu motip ekonomi karena didorong kerakusan dan ketamakan dapat dihindari dan digantikan pengelolaannya oleh masyarakat yang sadar lingkungan. Masyarakat sekitar hutan dapat menjadi pengelola hutan namun tidak diperbolehkan untuk dijual dan hanya dapat diwariskan dalam hak mengelolanya kepada anak cucunya. Dengan demikian kepanjangan NTT dari ‘Nasib Tidak Tentu’, “Nasib Tergantung Tuhan” dll, tetapi menjadi “Nasib Tergantung Tekad’ dan terkait dengan pengelolaan hutan menjadi ‘Nasib Tanah Terjamin’ dalam hal kesuburan dan kelestariannya karena keberadaan hutan tetap terjaga.
YBT. Suryo Kusumo
Pengembang masyarakat pedesaan
Indonesia RAYA (Beras Kaya) atau Indonesia RASKIN (Beras Miskin) ?
17 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar