Senin, 11 Agustus 2008

Penanganan krisis multi dimensi (air, energi dan pangan) melalui pelestarian daerah aliran sungai / hulu/ hutan serta pengelolaan air.

Selama ini banyak sekali kegiatan program yang dikembangkan baik yang dilakukan pemerintah maupun LSM masih didekati secara sektoral. Masing-masing pengelola program hanya lebih berfokus pada program yang ditanganinya tanpa mau tahu keterkaitan dengan sektor lainnya dan lebih sering mengenakan kaca mata kuda.

Kita lihat misalnya program kesehatan, hanya melulu memperhatikan pada aspek kesehatan seperti kebersihan, mengkonsumsi makanan yang bergizi, mencuci tangan sebelum makan, posyandu dll. Padahal kita tahu derajat kesehatan di masyarakat juga sangat bergantung pada ketersediaan makanan yang beragam dan mencukupi baik dari sisi jumlah maupun kandungan gizinya, ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan MCK dan memasak dll. Sangat disayangkan jika anak-anak diajari pentingnya mencuci tangan sebelum makan atau buang air di MCK namun sementara air bersih masih sulit didapatkan karena sumber air yang terbatas akibat rusaknya lingkungan mata air dll.

Dari contoh sederhana diatas sudah selayaknya kita hentikan cara pandang dan pendekatan sektoral, dan kita sempurnakan dengan pendekatan integral/holistik.

Ramah lingkungan

Berbicara penghidupan yang berkelanjutan, manusia tidak dapat melepaskan diri dari keterkaitannya dengan lingkungan sekitarnya. Semakin baik pemahaman masyarakat akan arti pentingnya melestarikan luingkungan, akan semakin terjaga pula lingkungan yang akan mendukung kehidupan masyarakat. Ada hubungan timbal balik yang sering dilupakan oleh masyarakat, dan masih banyak yang belum memahami dan menyadari akan arti penting melestarikan lingkungan. Kita semua tahu untuk berlanjutnya sebuah kehidupan maka yang sangat diperlukan antara lain air, energi dan pangan. Tidak ada kehidupan yang mampu bertahan tanpa air bahkan tubuh manusia sekitar 90 % merupakan air, demikian pula dengan ketersedian pangan sangat bergantung pada air. Energi terbarukan seperti kayu api juga sangat bergantung pengadaannya pada ketersediaan air.

Dengan demikian yang harus menjadi fokus utama dan pertama dari program pemberdayaan masyarakat adalah bagaimana mengelola air dalam pengertian bagaimana kita menjaga dan meningkatkan ketersediaan air melalui kegiatan menjaga kelestarian hutan, memanen air melalui teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, memanfaatkan air secara hemat dan bijak, melakukan konservasi tanah dan air (KTA) serta menyesuaikan tanaman yang akan kita usahakan dengan kondisi lingkungan yang ada disekitar kita.

Pendekatan berbasis lingkungan, mau tidak mau tidak bisa lepas dari pemahaman tentang DAS (Daerah Aliran Sungai) yang dapat bersifat lintas daerah administrasi. Ego kabupaten tidak lagi dapat dibenarkan karena penanganan DAS dapat secara lintas kabupaten, bahkan propinsi. Apalagi jika dikaitkan dengan pemanasan global dan perubahan iklim, maka gerakan cinta lingkungan tidak lagi dapat ditawar dan menjadi keharusan sebagai sebuah gerakan, dimana kita yang berdiam di bumi sebagai rumah yang satu mau tidak mau atau suka tidak suka harus punya kesadaran dan aksi bersama dalam menjaga bumi dari kepunahan karena ketidak pedulian warga bumi.

Hutan dan masa depan

Seringkali ketika masih dalam kondisi baik, keberadaan hutan sering diabaikan padahal kita tahu fungsi hutan sangat banyak antara lain mengatur daur hidrologi sehingga tidak terjadi banjir ketika musim penghujan, maupun longsor dan tidak terjadi kekeringan pada saat musim kemarau, mengurangi polusi udara, menjadi sumber plasma nuftah, sumber berbagai makanan lokal seperti umbi-umbian, sumber kayu untuk bahan bangunan maupun kayu bakar, sumber madu hutan, habitat satwa liar dll. Kesadaran akan arti penting dan strategis hutan perlu terus menerus dibangun dalam masyarakat sehingga demi penghidupan berkelanjutan generasi sekarang dan seterusnya maka tindakan merusak hutan menjadi tabu dan diharamkan, dianggap tidak bermoral meski itu semua dapat dilakukan karena alasan tekanan ekonomi apalagi yang hanya didasari oleh sikap rakus dan tak mau peduli dengan kesengsaraan yang diakibatkannya.

Kita dapat belajar dari saudara kita yang berasal dari Bali dengan keyakinan Hindu selalu saja merawat lingkungan termasuk melestarikan pohon-pohon besar disekitar pura dan bagaimana warga Bali sangat menjunjung tinggi kelestarian lingkungannya dimanapun mereka berada.

Kita dapat belajar dari suku Tengger, juga suku Badui tentang penghormatan mereka pada alam semesta dan tidak menjadikan hutan sebagai komoditi ekonomi saja tetapi juga terkait dengan keberlanjutan hidup warga diseputar hutan. Beberapa kebiasaan budaya di berbagai tempat juga diharapkan mampu menjadikan budaya sebagai benteng terakhir untuk tidak merusak hutan maupun alam semesta.

Alangkah indahnya hidup ini jika keberadaan dan kelestarian hutan dapat menjadi solusi dari krisis air, krisis pangan dan juga krisis energi. Hutan menjadi sandaran dan tumpuan kehidupan baik dari sisi budaya, kesehatan maupun ekonomi tanpa menjadikan hutan sebagai tempat penjarahan.
Kita harus selalu diingatkan akan pentingnya melestarikan hutan yang tidak lain berarti melestarikan kehidupan secara keseluruhan.

Selain menjaga hutan, kita dapat meniru keberadaan hutan dan menerapkannnya dalam mengelola kebun yang kita miliki yang kita kenal dengan istilah hutan keluarga. Kita dapat melakukan diversifikasi atau penganekaragaman tanaman maupun ternak dengan meniru fungsi hutan sehingga kita dapat memenuhi kebutuhan hidup tanpa harus merusak hutan yang ada disekeliling kita. Maka dengan demikian hutan tetap lestari, namun rakyat sejahtera.



Pendekatan holistik

Mari kita tinggalkan pendekatan sektoral yang sudah terbukti tidak mampu menyelesaikan krisis multi dimensi. Kita harus memulai langkah pemberdayaan melalui penyadaran akan pentingnya melakukan pelestarian lingkungan. Kita didik sejak mulai dini anak-anak sebagai generasi penerus untuk selalu merawat dan meruwat bumi dengan jalan melestarikan nilai-nilai budaya yang menjunjung tinggi terhadap kelestarian lingkungan. Anak-anak tidak diajar serakah dengan melakukan pembalakan hutan (meski tidak liar) dan menjual kayunya, tetapi diajarkan bagaimana mengelola hutan secara lestari namun kehidupan semakin sejahtera, bagaimana melakukan pembibitan tanaman hutan secara swadaya dll. Perlu inovasi dan ada sentuhan teknologi ramah lingkungan sehingga hutan terjamah namun tetap terjaga fungsinya seperti misal pengembangan TOGA (Tanaman Obat Keluarga), madu hutan, rotan, mahoni yang hanya diambil bijinya untuk diekstrak menjadi obat, pengembangan ikan air tawar dll. Kita ajak masyarakat untuk menjaga lingkungan agar kita yang tinggal didalamnya tetap sehat, bebas dari polutan, mampu memenuhi kebutuhan hidup secara layak dan yang paling penting kita mewariskan generasi berikut kondisi lingkungan yang lebih menjanjikan dalam meraih hidup yang lebih baik. Pendekatan holistik mengajarkan kepada kita arti penting memanfaatkan potensi dan kearifan lokal, semisal bagaimana kebutuhan akan obat untuk kesehatan dapat terpenuhi dari tanaman TOGA, bagaimana pangan lokal yang dikonsumsi mampu tercukupi baik dari sisi jumlah dan kandungan gizinya, aman dikonsumsi karena bebas dari penggunaan pupuk dan pestisida buatan pabrik yang mencemari lingkungan, kebutuhan akan kayu bakar dapat terpenuhi dari tanaman penguat teras dikebun kita, atau dari penggunaan briket arang yang terbuat dari seresah /mulsa dari hutan dll. Pendekatan holistik juga diharapkan menjamin kerukunan antar warga karena distibusi yang adil dari potensi lokal yang ada, akses yang setara terhadap informasi dan modal dll. Masyarakat diajak untuk berkoperasi dalam meningkatkan perekonomian mereka dalam kebersamaan yang saling menguntungkan, mengurangi biaya sosial secara rasional sehingga adat/budaya tetap lestari sebagai sebuah jati diri namun tidak membebani dan menyebabkan kemiskinan di masyarakat. Dalam pendekatan holistik, pendekatan budaya sebagai roh yang menggerakkan pengembangan masyarakat sangat penting tanpa harus terjebak dalam pesta pora yang memabukkan dan memiskinkan. Dari pengalaman selama ini kita hanya sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi dan sering melupakan yang terpenting dalam hidup yakni bagaimana terwujudnya keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi disatu sisi dan tetap menjaga kelestarian lingkungan disisi lainnya.

Diharapkan dengan pendekatan holistik melalui titik masuk pelestarian DAS/hulu/hutan , pemberdayaan masyarakat benar-benar terwujud dan tidak menjadikan masyarakat sebagai kelinci percobaan maupun kambing hitam dari pelaksanaan sebuah program.


YBT Suryo Kusumo

Email; tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsagreennet.blogspot.com

Senin, 04 Agustus 2008

Mencoba menerapkan zero waste di rumah kontrakan di Kota karang Kupang NTT

Pada mulanya sekedar iseng membaca berbagai artikel yang dapat diakses di internet terkait bagaimana cara melestarikan lingkungan disekitar rumah kontrakan yang masih bisa untuk ditindak lanjuti dalam aksi nyata dan bukan hanya sekedar basa basi apalagi hanya tebar wacana.

Sungguh menarik ketika salah satu artikel yang terbaca terkait pelestarian lingkungan menantang diri untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari tanpa gembar gembor namun penuh dengan kesungguhan hati, secara hati-hati dan kedepan dapat menggugah pihak lain untuk menduplikasi melakukan hal yang sama minimal disekitar kota Kupang sehingga diharapkan dampaknya akan semakin meluas dan berakhir pada semakin membaiknya kualitas lingkungan seputaran kita.

Dalam sebuah blog pribadi Bapak Sobirin http://clearwaste.blogspot.com
kami belajar bagaimana sampah tidak lagi keluar rumah namun dikelola sedemikian rupa sehingga menjadi rumah yang benar-benar ‘zero waste’ istilah yang beliau perkenalkan.

Metoda yang digunakan pada awal sebelum mengenal blog beliau, pengomposan untuk memanfaatkan sampah organik hanya kami lakukan dengan cara menumpuk sampah organik tersebut disatu tempat untuk dibiarkan melalui proses alamiah menjadi humus, kemudian berkembang dengan mengkomposkan semua seresah, daun-daun kering maupun sampah organik lainnya menggunakan dekomposter dan ditambah dengan EM4 yang dibeli di toko pertanian. Sedang sampah plastik masih dengan cara dibakar.

Teringat perkataan Da’i yang sempat kondang namun kemudian tenggelam namanya yakni A’a Gym yang mengatakan sebaiknya segala sesuatu “Mulai dari diri sendiri, mulai dari apa yang dipunyai dan mulai sekarang juga”.

Maka dengan penuh semangat mulai dicoba di rumah kontrakan untuk memilah sampah menjadi 3 bagian yakni bagian yang dapat didaur ulang, sampah organik yang dapat dikomposkan dan sampah beracun
Namun ketika mengakses blog Pak Sobirin maka mulai berminat untuk belajar membuat sendiri MOL (Mikroorganisme Lokal) supaya tidak harus beli dan keluarkan uang terus menerus.

Disamping itu dalam bog dijelaskan bahwa ternyata pembakaran plastik justru berbahaya karena menghasilkan gas beracun sehingga disarankan untuk “memanaskan plastik” dan tidak membakarnya, meski sampai sekarang masih susah dilaksanakan dirumah karena yang membantu dirumah tidak sabar dengan semua proses ini yang butuh waktu lebih panjang dan tidak praktis dibanding dengan cara membakarnya.

Selain itu, kami mencoba membibitkan sendiri tanaman umur panjang dengan cara menyemai biji-bijian yang merupakan sisa dari yang kami makan seperti pepaya, srikaya, sirsat, jeruk keprok, mengkudu, jambu biji dll kedalam polibag/kantong plastik untuk dijadikan bibit tanaman dan sebagian sudah ditanam di kebun depan.
Bahkan untuk tanaman Cemara india sangat mudah untuk membibitkan, tinggal memungut biji yang jatuh dibawah pohon yang berwarna hitam dan menyemaikan langsung ke polibag maka akan tumbuh dan menjadi anakan yang dapat menghijaukan lingkungan kita sekaligus menambah nilai estetika sekitarnya.

Selain tanaman umur panjang, juga dikembangkan berbagai jenis Tanaman Obat Keluarga (TOGA) seperti Brotowali, Daun dewa, Mahkota Dewa, Sambiloto, Tapak Dara, Mengkudu, Sambung nyawa, Binahong, Meniran, Kumis Kucing, Keji Beling, Lidah buaya , Meniran, Petikan kerbau , Adpokat, Belimbing wuluh, Marongge/kelor dll.

Tanaman TOGA ini sangat membantu dalam menjaga kesehatan. Apalagi jika kami kebetulan terkena panas knalpot atau tersiram air panas, maka tinggal memotong daun Lidah buaya dan mengoleskan getahnya , langsung terasa adem serta tidak panas lagi dan hasilnya sangat menyenangkan karena luka tidak jadi melepuh.
Beberapa teman sering mengambil beberapa bagian tanaman obat untuk digunakan sebagai solusi pengobatan.

Bahkan ketika terkena batu ginjal, saya hanya merebus daun kumis kucing dicampur daun keji beling , kunyit dan meniran lalu diminum. Kemudian setelah beberapa hari jeda dari minum TOGA , dilanjutkan dengan makan buah apel 4 biji per hari selama 5 hari dan ternyata batunya keluar.

Namun sayangnya upaya yang dilakukan dalam menanam berbagai tanaman sering kandas karena ternyata meskipun lokasi rumah kontrakan berada didalam kota namun masih saja ada kambing yang dibiarkan berkeliaran memakan habis semua upaya penghijauan lingkungan tanpa ada sangsi yang tegas pada pemilik kambing.

Untuk menyiasatinya, kami menyeleksi tanaman apa saja yang tidak disukai kambing sehingga ketika ditanam/dibudidayakan tidak akan musnah dimakan, dan cara lainnya dengan meletakkan tanaman yang tidak disukai kambing sebagai pagar alami.

Saat ini meski memasuki musim kemarau dengan panas yang menyengat, namun disekitar rumah kontrakan kami terasa lebih adem, nyaman dan tidak terlalu panas berkat adanya beberapa pohon rindang dan tanaman bunga, maupun TOGA yang membuat suasana menjadi lebih sejuk, hijau dan asri meski berada dibebatuan karang yang meranggas.
Semua ini tidak lepas dari pemanfaatan kompos dan penerapan metode zero waste yang Pak Sobirin kenalkan sehingga meski tindakan ini bukan hal yang heroik, namun minimal telah mengurangi sampah kota, mengurangi pembakaran yang secara tak langsung juga ikut mengurangi pemanasan global yang menjadi penyebab perubahan iklim.

Dari langkah kecil diharapkan dapat berkontribusi pada perbaikan kualitas lingkungan bumi sebagai rumah kita bersama. Terima kasih Pak Sob, meski mungkin langkah ini tidak berarti untuk skala yang luas, minimal kami sudah memulainya. Bukankah untuk mencapai puncak gunung, hanya diperlukan langkah pertama dan tinggal terus melanjutkan secara konsisten dan persisten maka impian sampai di puncak gunung akan terwujud ?



Salam hijau

YBT Suryo Kusumo,
tony.suryokusumo@gmail.com.
www.adikarsagreennet.blogspot.com
www.adikarsaglobalindo.blogspot.com