Selasa, 02 September 2008

Biopori dengan Krisis Air Bersih

Dengan semakin banyak daerah yang mengalami kesulitan air bersih kita sebagai mahasiswa terutama kita bergerak dalam kepencintaalaman sudah sewajarnya untuk kita mengatasi masalah ini. masalah krisis air ini sudah menjadi tanggungjawab kita untuk membantu mengatasinya.

Banyak cara untuk mengatasi masalah krisis air seperti konseravasi daerah tangkapan hujan. konseravsi hutan, dan sebagainya. Salah satu cara yang praktis dan mudah diaplikasikan adalah dengan BIOPORI.Bipori adalah teknologi sederhana tepat guna multi fungsi. Bisa untuk resapan air, bisa untuk mengurangi genangan air, bisa untuk wadah pengomposan, dan tentunya menyuburkan tanah. Tim penemu teknologi tepat guna ini terdiri dari staf pengajar pada Bagian Konservasi Tanah dan Air, Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. Tim diketuai oleh: Kamir R Brata, dengan anggotanya: Wahyu Purwakusuma, Yayat Hidayat, Enny Dwiwahyuni, DP Tejo Baskoro, dan Maspudin. Banyak pujian telah diterima oleh tim ini, berbagai media masa memberitakan tentang penemuan sederhana tapi manfaatnya sangat besar ini. Harian Kompas, Rabu tanggal 5 Desember 2007 menurunkan berita di halaman 26 dengan judul: “Lubang Biopori Bisa Cegah Banjir”. Tim ini menamakan hasil temuannya dengan istilah Lubang Resapan Biopori (LRB). Prinsip LRB adalah lubang di tanah berdiameter 10 cm (bisa lebih) kedalaman 1 meter. Ke dalam lubang dimasukkan sampah organik yang diharapkan akan dimakan oleh organisme yang ada di dalam tanah. Dikatakan di halaman seluas 50 meter persegi bisa dibuat sebanyak 20 sampai 40 LRB, tergantung curah hujan dan sifat kelulusan air dari lapisan tanah setempat.LRB ini sangat cocok untuk daerah yang sangat sedikit tempat resapan airnya seperti di perumahan, kota besar. Dengan membuat LRB, maka akan semakin banyak air yang akan masuk ke dalam tanah sehingga dapat menambah cadangan air tanah dan dapat pula membantu mengatasi masalah banjir dan masalah sampah yang banyak terjadi di kota-kota besar. untuk informasi lebih jelasnya dapat dilihat di alamat: http://www.biopori.com/
http://pasains.mipa.ugm.ac.id/index.php?p=news&newsid=11&area=1

Penanganan Krisis Air

JAKARTA – Dua perlima penduduk dunia saat ini menghadapi krisis air bersih dan sebagian besar penyakit yang menyeret penderita ke bangsal-bangsal rumah sakit dipicu oleh kualitas air yang buruk. Jika krisis air tidak ditangani secara serius maka masa depan akan sangat menakutkan. Sementara privatisasi dan kecanggihan teknologi yang dianggap sebagai solusi terbukti hanya memperlebar jurang kaya-miskin. Krisis air menjadi sorotan utama peringatan hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh besok (5/6). Sorotan ini wajar jika melihat hampir setiap hari, berita di berbagai media massa mengabarkan semakin buruknya krisis air yang dihadapi dunia. Di negara berkembang, krisis tersebut terlihat nyata, dipicu dengan kerusakan hutan yang semakin parah, pembuangan limbah industri yang tak terkendali, dan penyedotan sumber-sumber air tanah dalam jumlah besar oleh industri-industri raksasa. Kondisi ini diperburuk dengan besarnya emisi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global dan menjadi penyebab perubahan iklim. Data terbaru dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan perubahan temperatur global 100 tahun ke depan akan mencapai 1,5 – 4,2 derajat Celcius. Peningkatan temperatur ini membawa malapetaka, dunia akan mengalami tambahan 12 juta penduduk terancam kelaparan, lebih dari dua miliar orang kekurangan air, 228 juta jiwa terkena malaria, 20 juta jiwa akan mengalami bencana banjir dan sekitar 2.000 pulau Indonesia dipastikan tenggelam. Namun tanpa harus berprediksi 100 tahun ke depan, perubahan iklim yang terjadi saat ini juga sudah cukup memprihatinkan. Di negara-negara subtropis mungkin perubahan ini ”menguntungkan” karena iklim menjadi lebih hangat dan sejumlah tanaman bisa berkembang biak dalam derajat udara yang lebih tinggi. Namun di negeri-negeri tropis, pergeseran ini merupakan malapetaka karena musim kering akan menjadi lebih panjang. Ketersediaan air dalam suatu ekosistem sebenarnya tergantung pada iklim, fisiografi, vegetasi dan geologi wilayah bersangkutan. Namun dalam semua bidang tersebut, manusia modern telah merusak bumi dan menghancurkan kapasitasnya untuk menerima, menyerap dan menampung air. Pembabatan hutan dan pertambangan telah menghancurkan kemampuan serap yang dimiliki tanah untuk menyimpan air. Sementara pertanian dan hutan monokultur telah mengeringkan ekosistem. Penggunaan bahan bakar minyak juga telah meningkatkan emisi yang memicu perubahan iklim dan menjadi penyebab utama banjir, tsunami serta kekeringan. Semua kondisi tersebut menyediakan persediaan air global per kapita turun dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1970, penurunan ini mencapai 33 persen. Dan data tahun 1998 menunjukkan 208 negara mengalami kekurangan atau kelangkaan air. Angka ini diperkirakan akan bertambah 56 negara lagi pada tahun 2025. Antara tahun 1990 dan 2025, jumlah orang yang hidup di negara tanpa air yang memadai diperkirakan akan mengalami peningkatan dari 131 juta menjadi 817 juta. Krisis air dunia tidak bisa lagi dianggap enteng. Menurut laporan World Commission on Water tahun 1999, sekitar 1,2 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses pada air bersih. Jumlah itu diperkirakan membengkak menjadi 2,3 miliar pada tahun 2025 bila tidak segera dilakukan usaha signifikan untuk mengatasi masalah kelangkaan air. Sementara jutaan orang tewas akibat penyakit yang disebabkan oleh air kotor, seperti diare, malaria, demam berdarah dan cacingan. Dalam World Water Forum Ketiga di Kyoto bulan Maret lalu, Presiden World Water Council Dr. Mahmoud Abu-Zied bahkan menggambarkan kondisi krisis air sedemikian genting, di mana satu dari empat orang di dunia kekurangan air minum dan satu dari tiga orang tidak mendapatkan sanitasi yang layak. Privatisasi Melihat gentingnya masalah ketersediaan air, maka pengaturan penggunaan air menjadi hal serius. Data menunjukkan penggunaan air dunia terbesar dilakukan sektor pertanian (70 persen), kemudian diikuti sektor industri (22 persen) dan domestik (8 persen). Sayangnya, solusi yang dikampanyekan untuk mengatasi kelangkaan air ini cukup unik: menyerahkan pengelolaan air ke pihak swasta alias privatisasi. Dengan privatisasi, air bukan lagi bernilai sosial. Ia telah memiliki nilai ekonomi. Diasumsikan, dengan pengenaaan nilai ekonomi maka orang akan berhemat menggunaan air. Semakin mahal air maka semakin hemat penggunaannya karena orang tidak mau membuang-buang sesuatu yang ia beli dengan uang. Namun benarkah demikian?Resep privatisasi ini tak hanya berlaku pada satu negeri, tapi hampir seluruh negara di dunia. Di Indonesia, Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang dibahas di DPR saat ini ditengarai memberikan angin terhadap proyek privatisasi tersebut. Studi kritis yang dilakukan Indonesian Forum on Globalization (INFOG) terhadap RUU SDA dan Water Resources Sector Adjustment Loan (WATSAL) – program Bank Dunia yang memberi pinjaman sebesar US$ 300 juta pada Indonesia guna mendanai program reformasi menyeluruh dalam sektor air— menunjukkan bahwa RUU SDA sebenarnya kepanjangan tangan dari sejumlah perusahaan transnasional/multinasional (TNC/ MNC) yang bersembunyi di balik baju Bank Dunia.Namun saat dikonfirmasi SH, Erman Suparno, Ketua Panita Kerja Rancangan Undang Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) dari Komisi IV DPR membantah bahwa kehadiran RUU SDA ini merupakan tekanan Bank Dunia. Ia mengatakan RUU ini lahir dari keprihatinan terhadap pemanfaatan air yang tidak berkelanjutan. Erman bisa jadi benar. Namun ”momok” privatisasi ini juga menghantui warga dunia. Di Afrika Selatan, ”momok” ini bahkan sudah mengancam keberlangsungan hidup warga. Dalam Forum Kyoto pun, hal ini menjadi perdebatan sengit. Mayoritas negara setuju untuk menangani krisis air ini melalui pola partnership (kemitraan) antara publik dan swasta. Namun sebagian kelompok yang kritis, mayoritas dari Non-Goverment Organization (NGO) dan komunitas masyarakat warga, menilai pola tersebut merupakan ”trik” yang digunakan TNC untuk membuka pasar air, menjadikan air sebagai komoditas bisnis. Terlebih lagi, persoalan air sekarang tengah gencar diperjuangkan agar masuk dalam kesepakatan General Agreement on the Trade of Services (GATS), salah satu kesepakatan dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tak Cukup Teknologi Selain privatisasi, solusi yang dikampanyekan untuk mengatasi krisis air adalah implementasi teknologi, seperti dam dan pembuatan pipa saluran air. Solusi ini menjadi fokus dalam Forum Kyoto yang membuat sejumlah delegasi kritis merasa dipecundangi. Bagi kelompok ini, teknologi dam dan pipanisasi hanya solusi instan untuk menangani krisis air. Dalam jangka pendek, solusi tersebut mungkin bermanfaat, tapi tidak dalam jangka panjang. Pembuatan dam dipastikan akan membawa serentetan masalah yang tak kalah pelik. Upaya menghambat laju deforestasi hutan, perbaikan ekosistem dengan mengeksploitasi kearifan lokal –pertanian polikultur, menanam tanaman yang tidak boros air adalah beberapa di antaranya— bisa menjadi solusi mengatasi kelangkaan air bersih. Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengubah pola produksi dan konsumsi. Membuat peraturan tegas tentang pengolahan limbah, menjalankan seleksi terhadap izin HPH, menindak tegas para pelaku penebangan hutan alam, membatasi kepemilikan kendaraan pribadi, mencari alternatif bahan bakar fosil, dan sebagainya. Banyak cara yang masih bisa dilakukan untuk menangani krisis air yang jauh lebih menyentuh akar permasalahan, dibandingkan sekadar memberikan solusi instan yang justru memperuncing perseteruan lama, utara-selatan dan kaya-miskin. Jika konsumsi dimaknai sebagai upaya untuk bertahan hidup, bukan untuk meraup keuntungan ekonomi, maka air sebenarnya cukup untuk setiap orang. (SH/fransisca r.susanti)
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0306/04/ipt01.html