Rabu, 05 November 2008

Sulit Air Krisis yang Tak Dianggap

Minggu, 20 Juli 2008
Satu-persatu orang mulai merasakan krisis air. Namun krisis itu tetap saja masih tak dianggap. Padahal kini air sudah mulai diperjual belikan. Harganya memang masih rendah, namun ke depan kemungkinan juga akan melambung seperti halnya minyak. Jika waktu itu tiba, maka dampaknya lebih mengerikan dari krisis minyak dan gas. Tak ada jalan lain, krisis air harus ditanggapi secara serius dari sekarang.
Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andi-noviriyanti@riaupos.co.id Alamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya

Hari itu, awal pekan, minggu kedua Juli. Johanes Sinaga (48) berkeluh kesah kepada Riau Pos. Gara-gara air sumur bor yang ada di rumahnya keluar bak air kencing. “Air yang keluar itu seperti air kencing saja. Angin saja yang banyak,” ungkap pria yang sudah enam tahun ini bertempat tinggal di Jalan Kereta Api, Kelurahan Tangkerang Tengah, Kecamatan Marpoyan Damai.“Sudah dua pekan ini kami susah air. Istriku sudah mengeluh saja. Terpaksa berhemat-hemat air. Baru sekali ini pula, seperti itu. Padahal sebelumnya tidak pernah. Sekali pun kemarau panjang,” ungkap ayah lima anak ini melanjutkan ceritanya. Dia ingat, dulu ketika tidak hujan selama empat bulan berturut-turut, air sumur bornya tetap saja lancar. Bahkan ketika jalan di depan rumahnya sudah berdebu-debu, dia masih punya banyak air untuk menyiram jalan tersebut. Dia mengaku benar-benar tidak habis pikir mengapa sumur bornya tidak lagi lancar mengeluarkan air. “Tak mungkin pompa saya yang rusak. Tetangga-tetangga saya juga kekeringan saat ini,” lanjutnya menjawab pertanyaan Riau Pos yang menduga bahwa pompa Johanes-lah yang rusak. Johanes juga mengelak dugaan bahwa sumur bornya mungkin terlalu dangkal. Dia menyebutkan kedalaman sumur bornya sudah 24 meter. Saat dugaan itu juga ditolak, dugaan dilanjutkan penyebab kekeringan itu adalah tidak adanya daerah hijau atau pepohonan di sekitarnya. Akibatnya air hujan yang ada hanya menjadi air aliran permukaan dan tidak singgah di dalam tanah. Dugaan tidak ada pohon sebagai penyebabnya tidak dibantah Johanes. Menurutnya hal itu bisa terjadi mengingat daerah di sekitarnya kini merupakan kawasan padat penduduk. Kondisi itu diperparah lagi dengan alih fungsi kawasan di tempatnya yang dulu rawa kini menjadi kawasan perumahan. “Bisa jadi juga penyebabnya karena ada kanalisasi di kawasan perumahan saya. Jadi air yang dulu banyak berkumpul di rawa mengalir semua ke kanal dan kawasan menjadi kering,” tambah Johanes memperkirakan kemungkinan lain penyebab kekeringan di rumahnya. Melyati (32), seorang warga di Jalan Kereta Api lainnya yang ditanyai Riau Pos juga mengemukakan dugaan yang sama terhadap penyebab kekeringan di kawasannya. Walaupun setakat ini dia belum merasakan krisis air seperti yang dihadapi Johanes.“Dulu kawasan ini sering banjir, tetapi sejak ada kanal jadi tidak banjir lagi. Tetapi konsekwensinya air menjadi sulit,” urainya.Melyati juga mengakui kalau dulu di kiri kanannya banyak kebun penduduk. Tetapi kini sudah menjadi areal perumahan. Hanya beberapa areal saja, tambahnya, yang saat ini belum dibangun.Satu-persatu orang mulai diperkenalkan dengan krisis air. Johanes dan keluarganya yang dulu tidak mengenal krisis air, kini mulai merasakan. Meskipun baru dua minggu dan masih bisa menampung air yang mengalir kecil itu. Namun ke depan bila tidak ada upaya bersama untuk melestarikan air tanah di sekitarnya, bisa jadi Johanes dan masyarakat lainnya akan benar-benar krisis air.***Indonesia termasuk satu dari sepuluh negara kaya air. Itu sebabnya persoalan krisis air belum begitu berkecamuk. Apalagi di Riau yang kaya dengan sumber air bersih kini masih berstatus surplus air. Akibatnya upaya konservasi dan pelestarian air masih tidak dianggap penting. Air masih dianggap komoditi murah yang tidak berarti. Padahal tanpa terasa saat ini, komoditi yang kini dikenal dengan nama emas biru itu sudah mulai punya harga. Bahkan di Rumbio, Kabupaten Kampar, daerah yang kaya dengan air karena dibelah oleh Sungai Kampar, kini telah mengenal jual beli air. Harganya kini satu jiregen ukuran 35 liter memang masih Rp3500. Namun ke depan, ketika air sudah semakin seret harga komoditas itu juga akan meloncat tajam. Sama halnya seperti saat, harga minyak melambung lebih dari dua ratus kali lipat dalam kurun waktu satu tahun ini. Harga air ke depan diperkirakan juga akan melambung. Mengingat Jacques Diouf, Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pernah mengungkapkan saat ini penggunaan air di dunia naik dua kali lipat lebih dibandingkan dengan seabad silam, namun ketersediaannya justru menurun. Penyebabnya tidak saja karena bertambahnya populasi manusia, tetapi juga karena kerusakan lingkungan. Mulai dari intrusi air laut yang mengkontaminasi air tanah sehingga menjadi asin. Pembuangan sampah dan limbah ke badan sungai sehingga air sungai tercemar dan tidak layak digunakan jadi sumber air bersih. Pembabatan hutan dan penebangan pohon yang mengakibatkan air hujan tidak tersimpan dalam tanah tetapi langsung ke sungai dan menuju laut lepas. Di tambah lagi seminisasi besar-besaran akibat pembangunan yang tidak memberikan kesempatan bagi air merembes ke dalam tanah. Semua penyebab krisis air tersebut harus diantisipasi. Deputi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bidang Hayati Endang Sukara, Kepala Balai Wilayah Sungai Sumatera III Agung Anggoro, Subdin Sungai, Rawa, Pantai dan Danau Kimpraswil Riau Dadi Komardi memaparkan sejumlah abtisipasi itu. Antipasi dilakukan melalui upaya optimasi pasokan, optimasi penyimpanan dan optimasi penyaluran serta penggunaan. Optimasi pasokan dan menyimpan air berarti peningkatan jumlah air hujan yang masuk ke dalam tanah dan tersimpan. Baik tersimpan di dalam tanah, maupun di sungai dan juga di tempat-tempat air permukaan, seperti danau dan bendungan buatan. Itu ditempuh dengan cara memanenan air hujan sebanyak mungkin. Baik melalui pembuatan kanal-kanal, meningkatkan daerah hijau, dan mengurangi areal yang disemenisasi serta penanaman pohon. Mengingat setiap satu batang pohon mengandung 80 persen air. Terakhir dengan mengoptimasi penyaluran dan penggunaan. Artinya setiap air yang ada harus tepat sasaran dan harus dihemat penggunaannya, karena secara alami komoditas itu meningkat permintaannya seiring bertambahnya penduduk bumi.***

http://www.riaupos.com/v2/content/view/8379/91/

Warga Sapala Mengonsumsi Air Kubangan Kerbau (2-Habis)

Tak Ingin dokter Kabur LagiTERPAKSA itulah yang membuat Desa Sapala, Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), hingga menggunakan air sungai yang tercemar kubangan kerbau untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi, cuci dan diminum.Semula mereka menganggap, air itu tak berpengaruh pada kesehatan. Namun, mereka baru sadar bahwa air itu tak layak digunakan, setelah seringnya terjadi keluhan sakit perut, diare dan gatal-gatal.Kesadaran itu juga datang dari sejumlah anak-anak, yang sekolah di SMPN 3 Sapala. "Di sekolah mereka belajar tentang kesehatan, sehingga selain pemuda dan tokoh masyarakat, anak-anak juga mengusulkan agar di desa ini dibangun sarana air bersih," kata kades Sapala, Sahni.Sahni yakin, jika ada sarana air bersih di desanya, orang luar yang bertugas --seperti dokter, tentu tak kabur lagi dari Sapala. Upaya membangun sarana air bersih ini, sudah mereka sampaikan kepada Pemkab HSU.Pemkab sendiri menanggapi positif. Oleh pemkab, timpal H Bahran, tokoh masyarakat setempat, mereka diminta membuat proposal permohonan bangunan pengadaan sarana air bersih. Namun, permintaan pemkab itu menjadi kendala bagi warga. Pasalnya, berkali-kali diajukan, selalu proposal itu diminta untuk diperbaiki."Kami kan tidak tahu bagaimana membuat proposal, jadi kemarin karena salah tulis sedikit langsung dikembalikan," keluh Bahran yang terpaksa bolak balik naik taksi air (kelotok) mengurus proposal yang diminta. Padahal, imbuh dia, kebutuhan akan air bersih itu sangat mendesak, mengingat ada 1.536 jiwa penduduk mendambakannya.Jika sarana ini berhasil dibangun menurut Bahran, tak hanya mengatasi kesulitan air bersih di desa Sapala, tapi juga bisa melayani desa perairan lainnya seperti Palbatu, Bararawa, Tampakang, Ambahai dan Paminggir yang kondisinya sama dengan desa Sapala.Sebagai bukti keseriusan warga memperjuangkan sarana air bersih, mereka kini menyiapkan lahan. "Pemerataan pembangunan dari pemerintah HSU sangat kami harapkan, dan kami akan perjuangkan sampai berhasil," imbuh Bahran dibenarkan kades dan warga lainnya.Sementara, Bupati HSU Drs H Fakruddin Msi baru-baru ini berjanji membantu warga Sapala. "Kami akan bangunkan sarana air bersih sistem penyaringan dengan pasir, dan insya Allah dibangun 2005," janji bupati.Bupati juga telah meminta PDAM menyuplai air ke Dermaga Danau Panggang untuk disalurkan melalui perahu-perahu air. Namun, hingga Senin (4/10) ketika BPost berkunjung ke lokasi, warga mengaku belum mendapatkan suplai air bersih itu.Benarkah meminum air terkontaminasi berbagai zat ini tak masalah? "Dari segi kesehatan jelas tidak baik. Selain diare, muntaber, dan penyakit kulit. Lainnya, penyakit dari hewan juga bisa menular lewat konsumsi air," kata dr Dharma Putera Mkm, kepala dinas kesehatan setempat belum lama tadi.Kemungkinan lain, terang dr Dharma, jika ada salah seorang penduduk menderita penyakit hepatitis, maka akan menularkan kepada orang lain lewat kotoran yang ia buang di sungai yang tercemat itu. "Kemungkinan warga lainnya yang mengonsumsi tertular hepatitis B lewat air tadi," imbuhnya. hanani

Kelangkaan Air Bersih Landa 947 Desa

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pemerintah mencatat kelangkaan air bersih telah melanda 947 desa. Jumlah ini meningkat dari pertengahan Juli lalu yang tercatat 910 desa.Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menuturkan pemerintah telah mengirimkan bantuan bagi pemerintah daerah yang sudah kewalahan dengan kelangkaan ini. "Indramayu, Cirebon, dan Boyolali sudah dikirimkan bantuan dari pusat," kata dia dalam konferensi pers "Kekeringan Air" di kantornya, Senin (11/8).Bantuan itu berupa pinajaman truk tangki air dan terminal air yang disesuaikan dengan permintaan pemerintah daerah. Menurut catatan pemerintah, selain ketiga daerah itu bantuan juga sudah dikirimkan ke Bogor, Blora, Sragen, dan Magelang.Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum Budi Yuwono mengatakan kelangkaan air bersih ini disebabkan musim kemarau yang tengah melanda Indonesia. Meski menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) kemarau berlangsung hingga Oktober, Budi berpendapat laju penambahan desa yang mengalami kelangkaan air bersih tak akan besar."Dalam satu bulan saja hanya (bertambah) sekitar 3 persen. Laju ini cukup landai," kata dia kepada Tempo usai konferensi pers. Menurut dia, laju penambahan itu tak terlalu berat dan dia memperkirakan laju tak bertambah terlalu besar karena hujan umumnya jatuh di bulan Oktober.Berdasarkan data pemerintah, kelangkaan air banyak terjadi di Jawa Tengah sebanyak 353 desa. Jumlah itu disusul Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat sebanyak 121 desa dan 101 desa. Sedangkan di Maluku hanya satu desa yang mengalami kelangkaan air.Rieka Rahadiana
http://www.tempointeraktif.com/read.php?NyJ=cmVhZA==&MnYj=MTMwNDQ5

Selasa, 21 Oktober 2008

KISAH PANJANG MENEMBUS PASAR SURABAYA

I. Latar Belakang

Keberhasilan petani meningkatkan produksi tidak membuat wajah petani menjadi cerah, apalagi terjadi gagal panen petani hanya bisa menghela napas panjang. Persoalan demi persoaalan muncul yang tak pernah dapat terselesaikan dengan tuntas. Salah satu penyebab kemurungan wajah petani adalah harga produk petani yang tidak sesuai dengan biaya produksi yang telah mereka keluarkan. Secara turun temurun, produk yang dihasilkan dipasarkan secara sendiri-sendiri dengan prinsip yang penting cepat laku. Issu masalah pemasaran produk petani semakin mencuat dipermukaan ketika Program Pertanian Berkelanjutan mampu meningkatkan produksi, baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan. Namun disisi lain ketika produksi meningkat, harga produk petani menurun.

Dari hasil penjajakan di lapangan dan cerita singkat dari beberapa petani yang ada di wilayah dampingan YSLPP, tergambar jelas bahwa persoalan utama dalam pemasaran produk pertanian adalah pada akses pasar ( yaitu peluang dan informasi pasar) dan mata rantai pemasaran. Semakin jauh dan panjang mata rantai pemasaran, semakin jauh harapan petani untuk mendapatkan harga yang layak, karena setiap simpul rantai akan mencari laba.

Selain masalah di atas, terungkap beberapa masalah kenapa harga produk petani menurun khususnya kacang tanah. Masalah-masalah yang dimaksud antara lain :

1. Petani meminjam benih dari tengkulak setiap musim tanam, walaupun dengan pengembalian yang cukup besar yaitu 1 karung kembali 2 karung.
2. Petani tidak cukup uang untuk biaya panen, sehingga lagi-lagi masih meminjam pada tengkulak.
3. Petani tidak bisa menahan produknya karena harus segera dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga terutama untuk kebutuhan makan sehari-hari.
4. Petani menjual secara sendiri-sendiri, dimana harga berbeda antara petani yang satu dengan yang lainnya dan terkadang petani langsung menjual sebelum sampai waktu panen sehingga harga dipermainkan oleh pengusaha..
5. Kekhawatiran selalu ada di benak petani, kalau terlambat jual barang rusak dan tidak ada yang beli sehingga begitu panen langsung dijual dilahan (pengusaha/tengkulak membawa truk kelahan)
6. Sebagian besar petani merasa tidak enak dan terpaksa kalau harus menjual ke pengusaha lain, karena sudah diberi pinjaman benih dan biaya panen.
7. Pengetahuan dan keterampilan petani tentang pengelolaan pasca panen masih sangat kurang sehingga kwalitas produksi menjadi rendah yang pada gilirannya harga menjadi rendah.

Dari serangkaian masalah yang ada, YSLPP bersama petani melakukan diskusi tentang peliknya persoalan pemasaran produk pertanian. Dari hasil diskusi petani menyimpulkan bahwa kunci sukses dalam pemasaran adalah petani harus bersatu dan kompak. Berikut disampaikan beberapa langkah menuju pemasaran bersama komoditi kacang tanah (pengalaman YSLPP bersama kelompok tani dampingan), dengan harapan bisa dijadikan alternatif jawaban untuk melepaskan diri dari ruwetnya pemasaran.

II. Langkah Menuju Pemasaran Bersama

1. Pendataan produksi
Data produksi merupakan hal yang sangat penting dalam aspek pemasaran. Bagaimama kita bisa berbicara pasar, kalau kita sendiri tidak tahu produk apa saja yang kita miliki, berapa kapasitas/kemampuan kita untuk menghasilkan suatu komoditi dan bagaimana kualitas dan kontinuitas yang mampu kita siapkan. Semua komoditi yang diusahakan petani didata, meliputi jumlah petani yang mengusahakan, luas lahan, jumlah produksi dan waktu panen. Data produksi merupakan modal untuk melakukan promosi negosiasi dengan pengusaha.

2. Pendataan Konsumen
Mengetahui kebutuhan konsumen, dimana konsumen berada merupakan faktor yang sangat penting agar petani bisa menyiapkan produk sesuai permintaan dan petani juga mengetahui kemana harus menjual produknya. Data konsumen yang dihimpun meliputi : siapa saja konsumen yang membutuhkan sebuah produk (baik lokal maupun luar daerah), berapa volume yang siap dibeli, dimana konsumen berada, bagaimana sistem pembayaran dan bagaimana mekanisme pengiriman produk/barang.

3. Penelusuran alur distribusi.
Setelah semua data produksi dan data konsumen terpetakan, dilanjutkan dengan penelusuran alur distribusi di lapangan. Penelusuran alur distribusi ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa panjang alur distribusi yang selama ini terjadi di tingkat petani dan kemana tujuan akhir sebuah produk. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat memotong rantai pasar.
Penelusuran alur distribusi khususnya pada komoditi kacang tanah melalui petani dan kader pemasar . Beberapa pertanyaan kunci meliputi :
q Siapa yang membeli kacang tanah paling banyak
q Bagaimana sistem pembayarannya
q Di mana alamat pengusaha/pembelinya
q Bagaimana mekanisme pembeliannya, apakah pengusaha langsung ke petani atau pengusaha menggunakan tengkulak yang ada di setiap desa.

Dari penelusuran alur distribusi komoditi kacang tanah, terpetakan nama-nama pengusaha lokal dan luar daerah. Dari peta alur distribusi terlihat bahwa “pengusaha dari Surabaya yang membeli paling banyak dan sistem pembayarannya kontan. Hanya saja petani tidak tahu namanya tapi tahu rupa wajahnya. Pengusaha tersebut tidak langsung ke petani tapi melalui kaki tangannya dan kaki tangannya si pengusaha mendapat 2 keuntungan ( komisi dari petani dan komisi dari pengusaha).

4. Menemui Pengusaha
Dari peta alur distribusi terlihat bahwa “pengusaha dari Surabaya yang membeli paling banyak dan sistem pembayarannya kontan. Bersama kader menemui si Pengusaha, lalu perkenalan dan namanya “ H. Wahyudi” dari Surabaya tapi tidak mau menyebut nama perusahaan dan alamat lengkapnya. Dalam pertemuan tersebut kami menyampaikan maksud dan tujuan, menyampaikan keberadaan kelompok, juga menyampaikan kemudahan dan keuntungan pengusaha (H. Wahyudi) jika dibangun pola kerjasama dengan kelompok tani yang ada di wilayah dampingan YSLPP di Kabupaten Sumbawa. Ternyata si pengusaha merasa tertarik dan sangat respon dengan kemudahan dan keuntungan yang diperoleh ketimbang menggunakan calo/tengkulak yang selama ini mereka gunakan. Diakhir obrolan kami menawarkan si pengusaha (H. Wahyudi) untuk melakukan survey ke lokasi lain dan perkenalan dengan petani dan kelompok yang ada di desa Luk). Si pengusaha H.Wahyudi menyanggupi dan keesokan harinya kami bersama-sama melakukan kunjungan lapangan sesuai rencana.
Setelah melihat kondisi lapangan dan kelompok tani yang ada di Desa Luk, Pak Haji Wahyudi menyampaikan bahwa perusahaan akan mau membeli dan bekerjasama dengan petani apabila kwalitas produksi sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh perusahaan seperti kwalitas, kwantitas dan kontinyuitas, apabila tidak sanggup memenuhi permintaaan tersebut maka perusahaan tidak bisa melakukan kerjasama. Karena petani telah sanggup memenuhi permintaan tersebut maka H. Wahyudi menyanggupi untuk melakukan uji coba kerjasama dengan beberapa kesepakatan lisan meliputi : jaga kualitas (kacang harus kering) karena perjalanan jauh, sistem pembayaran kontan, minimal harus ada kacang tanah 1 fuso (250 karung) baru bisa diangkut ke Surabaya. Pada saat itu pengusaha masih menyimpan banyak keraguan, apakah petani bisa menjaga kesepakatan yang telah disepakati bersama. Pengusaha menyampaikan jika ujicoba ini lancar, maka kerjasama akan dilanjutkan. Banyak keraguan yang terungkap dari pihak pengusaha, yang selama ini menurut H.Wahyudi bahwa petani sulit diatur, tidak mau menyadari bahwa kualitas produk adalah yang utama. Jika YSLPP mampu mengarahkan petani untuk tetap menjaga kualitas, maka kami dari pihak pengusaha sangat berterima kasih dan kita bisa membangun hubungan kerjasama jangka panjang khususnya kacang tanah, demikian komentar H.Wahyudi.

Uji coba pemasaran bersama komoditi kacang tanah tahap I (musim tanam 2003/2004) berlangsung sebanyak 46,36 ton dan berjalan lancar walaupun masih terdapat kekurangan yaitu mengenai kualitas kacang tanah dimana masih ada sebagian petani yang kacang tanahnya masih tergolong kurang kering. Namun kami selalu berkomunikasi baik lewat telpon maupun berdiskusi langsung bahwa kami siap memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada, demikian juga pengusaha berharap agar kerjasama bisa berlanjut untuk seterusnya.. Pada musim tanam tahun 2004/2005 pemasaran tahap II dilakukan dengan jumlah 84,76 ton. Pemasaran tahap II ini terjadi peningkatan baik dari kualitas maupun kuantitas produk dan perbaikan kesepakatan kerjasama yang semula hanya lisan pada tahap II perjanjian sudah mulai tertulis sehingga kekuatan dan keyakinan petani lebih besar, lebih-lebih setelah terbentuknya forum pemasaran bersama lintas kecamatan (FOPBLIK).


5. Melakukan komunikasi intensif.
Dalam rangka menjalin kerjasama dan hubungan yang lebih dekat dengan pengusaha, YSLPP selalu mencari kesempatan untuk saling komunikasi dan sharing informasi. Satu tahun kemudian (tahun 2004) kami ketahui nama perusahaan nya adalah UD.Bumi Mas Surabaya. UD.Bumi Mas Surabaya adalah spesialis pengusaha kacang tanah. Setelah merasa dekat, YSLPP menanyakan apakah kami bisa berkunjung ke lokasi perusahaan H. Wahyudi di Surabaya? Jawabnya ; boleh-boleh aja, nanti kita lihat apa bisa atau tidak. Lalu kami diberikan alamat lengkap dan diperbolehkan kontak langsung via telpon dengan temannya ( namanya ; Bagong) di Surabaya.

6. Kunjungan Ke Surabaya.
Untuk menjalin hubungan kerjasama dalam bidang pemasaran yang lebih baik, satu tahun kemudian (tahun 2004) kami bersurat ke UD Bumi Mas bermaksud untuk melakukan kunjungan ke Surabaya, yang sebelumnya telah dikomunikasikan terlebih dahulu tentang maksud dan tujuan kunjungan. Kunjungan ke Surabaya kami lakukan bersama petani kader dengan maksud dan tujuan agar petani dapat mengetahui secara langung tentang proses pemasaran komoditi kacang tanah, persyasratan-persyaratan yang harus dipenuhi, pembelajaran tentang bagaimana bernegosiasi dan menjaga hubungan kerjasama sehingga berkelanjutan. Harapannya petani yang diajak kunjungan agar dapat menyampaikan kembali kepada kelompok dampingannya (sharing pengalaman) hasil kunjungan setelah kembali dari study banding. Sampai di Surabaya kami diperkenalkan dengan pemilik perusahaan UD Bumi Mas yaitu Bapak Bagong. Kami disambut dengan baik, ngobrol panjang lebar dan akhirnya kami sepakat untuk membangun hubungan kerjasama pola kemitraan secara tertulis. Secara lisan dan tulisan perusahaan UD Bumi Mas akan melakukan kerjasama dengan petani dampingan YSLPP asal memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah disepakati bersama khususnya kacang tanah. Dalam kesempatan itu staf YSLPP dan petani diajak jalan-jalan melihat gudang penyimpanan kacang tanah mulai proses penjemuran, penyimpanan, sortasi, pengepakan, pemecahan biji dll sehingga petani betul-betul mengerti, paham proses pemasaran kacang tanah. Pihak perusahaan sangat banyak memberikan masukan dan pembelajaran kepada staf dan petani untuk membangun kerjasama, menjaga kwalitas dan kiat-kiat lain menuju sukses.

7. Evaluasi
Pada setiap selesai melakukan kegiatan pemasaran bersama YSLPP selalu melakukan refleksi dan evaluasi tentang keberhasilan dan kelemahan-kelemahan maupun kendala-kendala yang terjadi baik ditingkat petani maupun tingkat pengusaha. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki kejasama selanjutnya sehingga kegiatan pemasaran bersama dengan petani dari waktu ke waktu mengalami peningkatan. Beberapa hasil refleksi tersebut seperti diuraikan berikut.

MUCULNYA FOPBLIK

Mencermati proses pemasaran bersama komoditi kacang tanah dengan UD.Bumi Mas Surabaya, masih banyak kelemahan/kekurangan di tingkat petani. Jika hal ini tidak segera dicarikan solusinya, maka kerjasama akan segera berakhir. Untuk itu YSLPP bersama petani melakukan evaluasi melalui analisa SWOT.

Dari hasil evaluasi SWOT, diperoleh beberapa kelemahan baik dari mitra usaha maupun dari petani. Kelemahan-kelemahan di tingkat petani meliputi :

q Tidak semua petani menjaga kualitas produk tetapi hanya mengejar target masih ditemukan kacang tanah yang produknya kurang baik (masih basah).
q Petani hanya mementingkan kepentingan sendiri tidak peduli kesulitan pengusaha
q Para kader pemasar yang ada dimasing-masing desa dampingan YSLPP masih kerja sendiri-sendiri
q Jarak antar kader pemasar sangat berjauhan, sehingga sulit untuk komunikasi

Dari masalah yang ada kemudian didiskusikan dengan dengan para kader pemasar, muncul ide/gagasan bahwa sebaiknya ada wadah yang memayungi kelompok tani yang tersebar di beberapa desa dampingan YSLPP. Wadah tersebut diharapkan menjadi tempat bertemunya para kader pemasar untuk membahas persoalan petani dan sebagai sumber informasi bagi petani terkait dengan akses pasar (informasi dan peluang pasar).

Merespon ide/gagasan yang muncul saat diskusi dengan para kader pemasar, YSLPP merancang pertemuan petani untuk membentuk wadah dengan nama FPLK (Forum Pemasaran Lintas Kecamatan). Menjelang hari pelaksanaan pertemuan, nama wadah tersebut dirasakan kurang pas, akhirnya diganti dengan nama FOPBLIK (Forum Pemasaran Bersama lintas kecamatan) dan diresmikan oleh Camat labuhan Badas tanggal 19 Maret 2005.

Kunjungan II Ke UD.Bumi Mas Surabaya

Selama dua periode menjalin kerjasama dengan UD.Bumi Mas Surabaya, masih terdapat beberapa kelemahan terutama menyangkut kualitas kacang tanah yang dinilai kurang kering oleh mitra. Menyikapi persoalan tersebut, staf YSLPP bersama 2 orang wakil FOPBLIK berkunjung ke UD.Bumi Mas untuk kedua kalinya. Tujuannya adalah untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan promosi keberadaan FOPBLIK, sehingga meyakinkan mitra bahwa kerjasama kedepan akan lebih baik karena kelembagaan petani semakin kuat. Dari hasil kunjungan II, mitra usaha (UD.Bumi Mas) memaklumi kelemahan yang ada dan berharap agar kualitas menjadi pegangan petani. UD.Bumi Mas juga menyarankan agar petani bisa mengusahakan kacang biji dua, karena pasarannya lebih mudah dan lebih banyak peluang pasarnya bila dibandingkan dengan kacang tanah biji 3. Soal kerjasama akan tetap berlanjut selama petani dapat mempertahankan kualitas.


III. MANFAAT PEMASARAN BERSAMAI.

Pemasaran bersama telah memberikan dampak positif terhadap perubahan pada masyarakat tani dampingan baik secara ekonomi maupun sosial budaya. Membangun pemasaran bersama bukan suatu hal yang mudah, kondisi sosial budaya petani dalam memasarkan produk secara turun temurun telah berlangsung begitu lama ditambah lagi dengan kemampuan ekonomi dan pengetahuan mereka dalam pemasaran yang relatif rendah sehingga menjadikan mereka terjerat dalam ijon, posisi tawar sangat rendah.

Untuk memperbaiki dan merubah prilaku tersebut membutuhkan proses panjang seperti telah diuraikan diatas sehingga pada akhirnya mereka yakin dan mampu mengatasi permasalahan yang mereka hadapi selama ini. Melalui proses tersebut mereka bisa belajar dan mengamati serta dapat membandingkan keuntungan yang diperoleh dari pemasaran secara individu dengan pemasaran bersama. Beberapa hal tersebut antara lain :

Kondisi Sebelum dan Sesudah Pemasaran Bersama

Sebelum Pemasaran Bersama
Sesudah Pemasaran Bersama
§ Harga kacang tanah berkisar antara Rp.85.000 – Rp.105.000,-/karung
§ Harga kacang tanah Rp.115.000 – Rp.120.000,-/karung
§ Sistem pembayaran : sebagian kontan, sebagian dibayar 2-3 minggu kemudian dan bahkan ada beberapa petani yang produknya tidak dibayar (pengepulnya menghilang)
§ Sistem pembayaran kontan
§ Harga berbeda antara petani yang satu dengan petani yang lainnya. Jika petani merasa kepepet dengan kebutuhan perut maka harga terserah tengkulak.
§ Harga sama di semua petani
§ Pembelian produk sedikit-demi sedikit, karena kapasitas pengusaha lokal terbatas, sehingga petani terpaksa harus sabar menunggu. 1 hari paling banyak bisa diangkut 2 trek. 1 trek = 90 karung.
§ Produk petani lebih cepat terdistribusi, karena kapasitasnya banyak sekali angkut (minimal 2 fuso/hari) . 1 fuso = 250 karung.
§ Tidak ada kepastian harga, karena fluktuasi sangat tinggi
§ Kepastian harga bisa dijamin sehingga banyak petani yang tertarik menjadi anggota kelompok (sebenarnya pemasaran fokus untuk kelompok dampingan tapi melihat kenyataan banyak anggota diluar kelompok ikut memasarkan produknya)
§ Tidak ada pembinaan dari pengepul
§ Ada pembinaan dari mitra usaha (bagaimana menjaga kualitas, cara penanganan pasca panen) dan mitra usaha juga memotivasi petani untuk bersama-sama menjaga kepercayaan menyangkut kualitas (pengusaha sering ikut kelapangan memberikan asistensi terutama menyangkut kwalitas dan penanganan pasca panen).
§ Tidak ada retribusi untuk desa
§ Pengusaha memberikan retribusi kepada desa Rp. 1.000/karung
§ Tidak ada jasa untuk pengumpul
§ Ada jasa dan tambahan pendapatan untuk petani kader yang mengumpulkan Rp. 1.000/karung oleh pengusaha (1 fuso kader mendaoat Rp. 250.000).

Manfaat yang dirasakan Petani
Beberapa manfaat yang dirasakan Petani dengan adanya pemasaran bersama ;
1. Petani tidak khawatir bahwa produknya tidak akan laku/tidak ada yang membeli, karena sudah mengetahui peluang pasarnya dan sudah punya mitra usaha yang berpihak pada petani.
2. Petani merasa ada kenaikan harga dengan pemasaran bersama, bila dibandingkan dengan jual sendiri-sendiri. Dan posisi tawar petani menjadi kuat.
3. Karena sistem pembayarannya kontan, petani tidak lagi khawatir bahwa barangnya akan hilang tanpa dibayar.
4. Petani merasa dengan pemasaran bersama, hubungan kebersamaan antara petani semakin terjalin dengan baik.
5. Dengan adanya pemasaran bersama bisa mengurangi ijon
6. Tengkulak tidak lagi berkeliaran kekampung karena sudah diblokir oleh kader pemasar sehingga kalau ingin mencari produk harus seijin/melalui kader pemasar yang ada di desa
7. Kesadaran berorganisasi masyarakat petani semakin kuat dan semakin banyak petani yang tertarik untuk mengikuti program
8. Pola pikir dan kesadaran kritis petani semakin meningkat

(Diambil dari laporan YSLPP )

Selasa, 02 September 2008

Biopori dengan Krisis Air Bersih

Dengan semakin banyak daerah yang mengalami kesulitan air bersih kita sebagai mahasiswa terutama kita bergerak dalam kepencintaalaman sudah sewajarnya untuk kita mengatasi masalah ini. masalah krisis air ini sudah menjadi tanggungjawab kita untuk membantu mengatasinya.

Banyak cara untuk mengatasi masalah krisis air seperti konseravasi daerah tangkapan hujan. konseravsi hutan, dan sebagainya. Salah satu cara yang praktis dan mudah diaplikasikan adalah dengan BIOPORI.Bipori adalah teknologi sederhana tepat guna multi fungsi. Bisa untuk resapan air, bisa untuk mengurangi genangan air, bisa untuk wadah pengomposan, dan tentunya menyuburkan tanah. Tim penemu teknologi tepat guna ini terdiri dari staf pengajar pada Bagian Konservasi Tanah dan Air, Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. Tim diketuai oleh: Kamir R Brata, dengan anggotanya: Wahyu Purwakusuma, Yayat Hidayat, Enny Dwiwahyuni, DP Tejo Baskoro, dan Maspudin. Banyak pujian telah diterima oleh tim ini, berbagai media masa memberitakan tentang penemuan sederhana tapi manfaatnya sangat besar ini. Harian Kompas, Rabu tanggal 5 Desember 2007 menurunkan berita di halaman 26 dengan judul: “Lubang Biopori Bisa Cegah Banjir”. Tim ini menamakan hasil temuannya dengan istilah Lubang Resapan Biopori (LRB). Prinsip LRB adalah lubang di tanah berdiameter 10 cm (bisa lebih) kedalaman 1 meter. Ke dalam lubang dimasukkan sampah organik yang diharapkan akan dimakan oleh organisme yang ada di dalam tanah. Dikatakan di halaman seluas 50 meter persegi bisa dibuat sebanyak 20 sampai 40 LRB, tergantung curah hujan dan sifat kelulusan air dari lapisan tanah setempat.LRB ini sangat cocok untuk daerah yang sangat sedikit tempat resapan airnya seperti di perumahan, kota besar. Dengan membuat LRB, maka akan semakin banyak air yang akan masuk ke dalam tanah sehingga dapat menambah cadangan air tanah dan dapat pula membantu mengatasi masalah banjir dan masalah sampah yang banyak terjadi di kota-kota besar. untuk informasi lebih jelasnya dapat dilihat di alamat: http://www.biopori.com/
http://pasains.mipa.ugm.ac.id/index.php?p=news&newsid=11&area=1

Penanganan Krisis Air

JAKARTA – Dua perlima penduduk dunia saat ini menghadapi krisis air bersih dan sebagian besar penyakit yang menyeret penderita ke bangsal-bangsal rumah sakit dipicu oleh kualitas air yang buruk. Jika krisis air tidak ditangani secara serius maka masa depan akan sangat menakutkan. Sementara privatisasi dan kecanggihan teknologi yang dianggap sebagai solusi terbukti hanya memperlebar jurang kaya-miskin. Krisis air menjadi sorotan utama peringatan hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh besok (5/6). Sorotan ini wajar jika melihat hampir setiap hari, berita di berbagai media massa mengabarkan semakin buruknya krisis air yang dihadapi dunia. Di negara berkembang, krisis tersebut terlihat nyata, dipicu dengan kerusakan hutan yang semakin parah, pembuangan limbah industri yang tak terkendali, dan penyedotan sumber-sumber air tanah dalam jumlah besar oleh industri-industri raksasa. Kondisi ini diperburuk dengan besarnya emisi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global dan menjadi penyebab perubahan iklim. Data terbaru dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan perubahan temperatur global 100 tahun ke depan akan mencapai 1,5 – 4,2 derajat Celcius. Peningkatan temperatur ini membawa malapetaka, dunia akan mengalami tambahan 12 juta penduduk terancam kelaparan, lebih dari dua miliar orang kekurangan air, 228 juta jiwa terkena malaria, 20 juta jiwa akan mengalami bencana banjir dan sekitar 2.000 pulau Indonesia dipastikan tenggelam. Namun tanpa harus berprediksi 100 tahun ke depan, perubahan iklim yang terjadi saat ini juga sudah cukup memprihatinkan. Di negara-negara subtropis mungkin perubahan ini ”menguntungkan” karena iklim menjadi lebih hangat dan sejumlah tanaman bisa berkembang biak dalam derajat udara yang lebih tinggi. Namun di negeri-negeri tropis, pergeseran ini merupakan malapetaka karena musim kering akan menjadi lebih panjang. Ketersediaan air dalam suatu ekosistem sebenarnya tergantung pada iklim, fisiografi, vegetasi dan geologi wilayah bersangkutan. Namun dalam semua bidang tersebut, manusia modern telah merusak bumi dan menghancurkan kapasitasnya untuk menerima, menyerap dan menampung air. Pembabatan hutan dan pertambangan telah menghancurkan kemampuan serap yang dimiliki tanah untuk menyimpan air. Sementara pertanian dan hutan monokultur telah mengeringkan ekosistem. Penggunaan bahan bakar minyak juga telah meningkatkan emisi yang memicu perubahan iklim dan menjadi penyebab utama banjir, tsunami serta kekeringan. Semua kondisi tersebut menyediakan persediaan air global per kapita turun dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1970, penurunan ini mencapai 33 persen. Dan data tahun 1998 menunjukkan 208 negara mengalami kekurangan atau kelangkaan air. Angka ini diperkirakan akan bertambah 56 negara lagi pada tahun 2025. Antara tahun 1990 dan 2025, jumlah orang yang hidup di negara tanpa air yang memadai diperkirakan akan mengalami peningkatan dari 131 juta menjadi 817 juta. Krisis air dunia tidak bisa lagi dianggap enteng. Menurut laporan World Commission on Water tahun 1999, sekitar 1,2 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses pada air bersih. Jumlah itu diperkirakan membengkak menjadi 2,3 miliar pada tahun 2025 bila tidak segera dilakukan usaha signifikan untuk mengatasi masalah kelangkaan air. Sementara jutaan orang tewas akibat penyakit yang disebabkan oleh air kotor, seperti diare, malaria, demam berdarah dan cacingan. Dalam World Water Forum Ketiga di Kyoto bulan Maret lalu, Presiden World Water Council Dr. Mahmoud Abu-Zied bahkan menggambarkan kondisi krisis air sedemikian genting, di mana satu dari empat orang di dunia kekurangan air minum dan satu dari tiga orang tidak mendapatkan sanitasi yang layak. Privatisasi Melihat gentingnya masalah ketersediaan air, maka pengaturan penggunaan air menjadi hal serius. Data menunjukkan penggunaan air dunia terbesar dilakukan sektor pertanian (70 persen), kemudian diikuti sektor industri (22 persen) dan domestik (8 persen). Sayangnya, solusi yang dikampanyekan untuk mengatasi kelangkaan air ini cukup unik: menyerahkan pengelolaan air ke pihak swasta alias privatisasi. Dengan privatisasi, air bukan lagi bernilai sosial. Ia telah memiliki nilai ekonomi. Diasumsikan, dengan pengenaaan nilai ekonomi maka orang akan berhemat menggunaan air. Semakin mahal air maka semakin hemat penggunaannya karena orang tidak mau membuang-buang sesuatu yang ia beli dengan uang. Namun benarkah demikian?Resep privatisasi ini tak hanya berlaku pada satu negeri, tapi hampir seluruh negara di dunia. Di Indonesia, Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang dibahas di DPR saat ini ditengarai memberikan angin terhadap proyek privatisasi tersebut. Studi kritis yang dilakukan Indonesian Forum on Globalization (INFOG) terhadap RUU SDA dan Water Resources Sector Adjustment Loan (WATSAL) – program Bank Dunia yang memberi pinjaman sebesar US$ 300 juta pada Indonesia guna mendanai program reformasi menyeluruh dalam sektor air— menunjukkan bahwa RUU SDA sebenarnya kepanjangan tangan dari sejumlah perusahaan transnasional/multinasional (TNC/ MNC) yang bersembunyi di balik baju Bank Dunia.Namun saat dikonfirmasi SH, Erman Suparno, Ketua Panita Kerja Rancangan Undang Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) dari Komisi IV DPR membantah bahwa kehadiran RUU SDA ini merupakan tekanan Bank Dunia. Ia mengatakan RUU ini lahir dari keprihatinan terhadap pemanfaatan air yang tidak berkelanjutan. Erman bisa jadi benar. Namun ”momok” privatisasi ini juga menghantui warga dunia. Di Afrika Selatan, ”momok” ini bahkan sudah mengancam keberlangsungan hidup warga. Dalam Forum Kyoto pun, hal ini menjadi perdebatan sengit. Mayoritas negara setuju untuk menangani krisis air ini melalui pola partnership (kemitraan) antara publik dan swasta. Namun sebagian kelompok yang kritis, mayoritas dari Non-Goverment Organization (NGO) dan komunitas masyarakat warga, menilai pola tersebut merupakan ”trik” yang digunakan TNC untuk membuka pasar air, menjadikan air sebagai komoditas bisnis. Terlebih lagi, persoalan air sekarang tengah gencar diperjuangkan agar masuk dalam kesepakatan General Agreement on the Trade of Services (GATS), salah satu kesepakatan dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tak Cukup Teknologi Selain privatisasi, solusi yang dikampanyekan untuk mengatasi krisis air adalah implementasi teknologi, seperti dam dan pembuatan pipa saluran air. Solusi ini menjadi fokus dalam Forum Kyoto yang membuat sejumlah delegasi kritis merasa dipecundangi. Bagi kelompok ini, teknologi dam dan pipanisasi hanya solusi instan untuk menangani krisis air. Dalam jangka pendek, solusi tersebut mungkin bermanfaat, tapi tidak dalam jangka panjang. Pembuatan dam dipastikan akan membawa serentetan masalah yang tak kalah pelik. Upaya menghambat laju deforestasi hutan, perbaikan ekosistem dengan mengeksploitasi kearifan lokal –pertanian polikultur, menanam tanaman yang tidak boros air adalah beberapa di antaranya— bisa menjadi solusi mengatasi kelangkaan air bersih. Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengubah pola produksi dan konsumsi. Membuat peraturan tegas tentang pengolahan limbah, menjalankan seleksi terhadap izin HPH, menindak tegas para pelaku penebangan hutan alam, membatasi kepemilikan kendaraan pribadi, mencari alternatif bahan bakar fosil, dan sebagainya. Banyak cara yang masih bisa dilakukan untuk menangani krisis air yang jauh lebih menyentuh akar permasalahan, dibandingkan sekadar memberikan solusi instan yang justru memperuncing perseteruan lama, utara-selatan dan kaya-miskin. Jika konsumsi dimaknai sebagai upaya untuk bertahan hidup, bukan untuk meraup keuntungan ekonomi, maka air sebenarnya cukup untuk setiap orang. (SH/fransisca r.susanti)
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0306/04/ipt01.html

Senin, 11 Agustus 2008

Penanganan krisis multi dimensi (air, energi dan pangan) melalui pelestarian daerah aliran sungai / hulu/ hutan serta pengelolaan air.

Selama ini banyak sekali kegiatan program yang dikembangkan baik yang dilakukan pemerintah maupun LSM masih didekati secara sektoral. Masing-masing pengelola program hanya lebih berfokus pada program yang ditanganinya tanpa mau tahu keterkaitan dengan sektor lainnya dan lebih sering mengenakan kaca mata kuda.

Kita lihat misalnya program kesehatan, hanya melulu memperhatikan pada aspek kesehatan seperti kebersihan, mengkonsumsi makanan yang bergizi, mencuci tangan sebelum makan, posyandu dll. Padahal kita tahu derajat kesehatan di masyarakat juga sangat bergantung pada ketersediaan makanan yang beragam dan mencukupi baik dari sisi jumlah maupun kandungan gizinya, ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan MCK dan memasak dll. Sangat disayangkan jika anak-anak diajari pentingnya mencuci tangan sebelum makan atau buang air di MCK namun sementara air bersih masih sulit didapatkan karena sumber air yang terbatas akibat rusaknya lingkungan mata air dll.

Dari contoh sederhana diatas sudah selayaknya kita hentikan cara pandang dan pendekatan sektoral, dan kita sempurnakan dengan pendekatan integral/holistik.

Ramah lingkungan

Berbicara penghidupan yang berkelanjutan, manusia tidak dapat melepaskan diri dari keterkaitannya dengan lingkungan sekitarnya. Semakin baik pemahaman masyarakat akan arti pentingnya melestarikan luingkungan, akan semakin terjaga pula lingkungan yang akan mendukung kehidupan masyarakat. Ada hubungan timbal balik yang sering dilupakan oleh masyarakat, dan masih banyak yang belum memahami dan menyadari akan arti penting melestarikan lingkungan. Kita semua tahu untuk berlanjutnya sebuah kehidupan maka yang sangat diperlukan antara lain air, energi dan pangan. Tidak ada kehidupan yang mampu bertahan tanpa air bahkan tubuh manusia sekitar 90 % merupakan air, demikian pula dengan ketersedian pangan sangat bergantung pada air. Energi terbarukan seperti kayu api juga sangat bergantung pengadaannya pada ketersediaan air.

Dengan demikian yang harus menjadi fokus utama dan pertama dari program pemberdayaan masyarakat adalah bagaimana mengelola air dalam pengertian bagaimana kita menjaga dan meningkatkan ketersediaan air melalui kegiatan menjaga kelestarian hutan, memanen air melalui teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, memanfaatkan air secara hemat dan bijak, melakukan konservasi tanah dan air (KTA) serta menyesuaikan tanaman yang akan kita usahakan dengan kondisi lingkungan yang ada disekitar kita.

Pendekatan berbasis lingkungan, mau tidak mau tidak bisa lepas dari pemahaman tentang DAS (Daerah Aliran Sungai) yang dapat bersifat lintas daerah administrasi. Ego kabupaten tidak lagi dapat dibenarkan karena penanganan DAS dapat secara lintas kabupaten, bahkan propinsi. Apalagi jika dikaitkan dengan pemanasan global dan perubahan iklim, maka gerakan cinta lingkungan tidak lagi dapat ditawar dan menjadi keharusan sebagai sebuah gerakan, dimana kita yang berdiam di bumi sebagai rumah yang satu mau tidak mau atau suka tidak suka harus punya kesadaran dan aksi bersama dalam menjaga bumi dari kepunahan karena ketidak pedulian warga bumi.

Hutan dan masa depan

Seringkali ketika masih dalam kondisi baik, keberadaan hutan sering diabaikan padahal kita tahu fungsi hutan sangat banyak antara lain mengatur daur hidrologi sehingga tidak terjadi banjir ketika musim penghujan, maupun longsor dan tidak terjadi kekeringan pada saat musim kemarau, mengurangi polusi udara, menjadi sumber plasma nuftah, sumber berbagai makanan lokal seperti umbi-umbian, sumber kayu untuk bahan bangunan maupun kayu bakar, sumber madu hutan, habitat satwa liar dll. Kesadaran akan arti penting dan strategis hutan perlu terus menerus dibangun dalam masyarakat sehingga demi penghidupan berkelanjutan generasi sekarang dan seterusnya maka tindakan merusak hutan menjadi tabu dan diharamkan, dianggap tidak bermoral meski itu semua dapat dilakukan karena alasan tekanan ekonomi apalagi yang hanya didasari oleh sikap rakus dan tak mau peduli dengan kesengsaraan yang diakibatkannya.

Kita dapat belajar dari saudara kita yang berasal dari Bali dengan keyakinan Hindu selalu saja merawat lingkungan termasuk melestarikan pohon-pohon besar disekitar pura dan bagaimana warga Bali sangat menjunjung tinggi kelestarian lingkungannya dimanapun mereka berada.

Kita dapat belajar dari suku Tengger, juga suku Badui tentang penghormatan mereka pada alam semesta dan tidak menjadikan hutan sebagai komoditi ekonomi saja tetapi juga terkait dengan keberlanjutan hidup warga diseputar hutan. Beberapa kebiasaan budaya di berbagai tempat juga diharapkan mampu menjadikan budaya sebagai benteng terakhir untuk tidak merusak hutan maupun alam semesta.

Alangkah indahnya hidup ini jika keberadaan dan kelestarian hutan dapat menjadi solusi dari krisis air, krisis pangan dan juga krisis energi. Hutan menjadi sandaran dan tumpuan kehidupan baik dari sisi budaya, kesehatan maupun ekonomi tanpa menjadikan hutan sebagai tempat penjarahan.
Kita harus selalu diingatkan akan pentingnya melestarikan hutan yang tidak lain berarti melestarikan kehidupan secara keseluruhan.

Selain menjaga hutan, kita dapat meniru keberadaan hutan dan menerapkannnya dalam mengelola kebun yang kita miliki yang kita kenal dengan istilah hutan keluarga. Kita dapat melakukan diversifikasi atau penganekaragaman tanaman maupun ternak dengan meniru fungsi hutan sehingga kita dapat memenuhi kebutuhan hidup tanpa harus merusak hutan yang ada disekeliling kita. Maka dengan demikian hutan tetap lestari, namun rakyat sejahtera.



Pendekatan holistik

Mari kita tinggalkan pendekatan sektoral yang sudah terbukti tidak mampu menyelesaikan krisis multi dimensi. Kita harus memulai langkah pemberdayaan melalui penyadaran akan pentingnya melakukan pelestarian lingkungan. Kita didik sejak mulai dini anak-anak sebagai generasi penerus untuk selalu merawat dan meruwat bumi dengan jalan melestarikan nilai-nilai budaya yang menjunjung tinggi terhadap kelestarian lingkungan. Anak-anak tidak diajar serakah dengan melakukan pembalakan hutan (meski tidak liar) dan menjual kayunya, tetapi diajarkan bagaimana mengelola hutan secara lestari namun kehidupan semakin sejahtera, bagaimana melakukan pembibitan tanaman hutan secara swadaya dll. Perlu inovasi dan ada sentuhan teknologi ramah lingkungan sehingga hutan terjamah namun tetap terjaga fungsinya seperti misal pengembangan TOGA (Tanaman Obat Keluarga), madu hutan, rotan, mahoni yang hanya diambil bijinya untuk diekstrak menjadi obat, pengembangan ikan air tawar dll. Kita ajak masyarakat untuk menjaga lingkungan agar kita yang tinggal didalamnya tetap sehat, bebas dari polutan, mampu memenuhi kebutuhan hidup secara layak dan yang paling penting kita mewariskan generasi berikut kondisi lingkungan yang lebih menjanjikan dalam meraih hidup yang lebih baik. Pendekatan holistik mengajarkan kepada kita arti penting memanfaatkan potensi dan kearifan lokal, semisal bagaimana kebutuhan akan obat untuk kesehatan dapat terpenuhi dari tanaman TOGA, bagaimana pangan lokal yang dikonsumsi mampu tercukupi baik dari sisi jumlah dan kandungan gizinya, aman dikonsumsi karena bebas dari penggunaan pupuk dan pestisida buatan pabrik yang mencemari lingkungan, kebutuhan akan kayu bakar dapat terpenuhi dari tanaman penguat teras dikebun kita, atau dari penggunaan briket arang yang terbuat dari seresah /mulsa dari hutan dll. Pendekatan holistik juga diharapkan menjamin kerukunan antar warga karena distibusi yang adil dari potensi lokal yang ada, akses yang setara terhadap informasi dan modal dll. Masyarakat diajak untuk berkoperasi dalam meningkatkan perekonomian mereka dalam kebersamaan yang saling menguntungkan, mengurangi biaya sosial secara rasional sehingga adat/budaya tetap lestari sebagai sebuah jati diri namun tidak membebani dan menyebabkan kemiskinan di masyarakat. Dalam pendekatan holistik, pendekatan budaya sebagai roh yang menggerakkan pengembangan masyarakat sangat penting tanpa harus terjebak dalam pesta pora yang memabukkan dan memiskinkan. Dari pengalaman selama ini kita hanya sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi dan sering melupakan yang terpenting dalam hidup yakni bagaimana terwujudnya keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi disatu sisi dan tetap menjaga kelestarian lingkungan disisi lainnya.

Diharapkan dengan pendekatan holistik melalui titik masuk pelestarian DAS/hulu/hutan , pemberdayaan masyarakat benar-benar terwujud dan tidak menjadikan masyarakat sebagai kelinci percobaan maupun kambing hitam dari pelaksanaan sebuah program.


YBT Suryo Kusumo

Email; tony.suryokusumo@gmail.com
www.adikarsagreennet.blogspot.com